Jumat, 23 Desember 2016

TUGAS MANDIRI

KEHIDUPAN BERAGAMA DI LINGKUNGAN KELUARGA
Mata Kuliah: Pendidikan Agama Kristen






Nama Mahasiswa : Wantri Junedi Manurung
NPM           : 150210169

Dosen : Tim Dosen


UNIVERSITAS PUTERA BATAM
2016


KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis senantiasa panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-NYA sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan judul “Kehidupan Beragama di Lingkungan Keluarga”. Penulis sangat bersyukur sekali karena dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi  persyaratan untuk memperoleh nilai tugas mandiri Pendidikan Agama Kristen pada Fakultas Teknik Informatika Universitas Putera Batam.
Makalah ini membahas tentang kehidupan beragama di lingkungan keluarga serta langsung memberi pemecahan masalah terhadap masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan keluarga.
Saya  menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat saya harapkan dan di harapakan sebagai umpan balik yang positif demi perbaikan di masa mendatang.Harapan saya semoga Makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khusunya di bidang ilmu Pendidikan Agama Kristen.
Akhir kata,penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.


Batam, Juli 2016

                                                                               Wantri Junedi Manurung



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
BAB I  PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  1 
LANDASAN TEORI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
BAB II  PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2 
            A. Keluarga Ilahi Apakah di Negara Asal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  2
            B. Hubungan Suami-Istri . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  .4
            C. Hubungan Istri Kepada Suami . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
D. Hubungan Orang Tua Untuk Anak-Anak Mereka . . . . . . . . . . .  6
            E. Hubungan Anak-Anak Kepada Orang Tua Mereka . . . . . . . . . . 7
Keunikan Peran Orang Tua Di Dalam Pendidikan Kristen . . . . . . . . . . . .  9
Pembentukan Keperibadian Anak  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  10
            A. Agape Sebagai Dasar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  11
            B. Disiplin Dan Tanggung Jawab . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  12
Hidup Dalam Suasana Kehadiran Kristus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
Family Altar  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  16
BAB III  PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  19
            Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .21

BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan keluarga saat ini berada di bawah pengepungan. Keluarga dilanda oleh perceraian,krisis dalam peran, ketidakhadiran orang tua, rincian dari otoritas, keasyikan dengan hal-hal,waktu yang tidak memadai bersama-sama, tekanan keuangan, dan sejumlah masalah lain.Alkitab mengajarkan bahwa institusi keluarga adalah asal dan tujuan ilahi. Alkitab juga memberikan panduan untuk hubungan baik dalam keluarga.
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini penulis akan menuangkan data-data teoritis yang berhubungan dengan pokok-pokok penelitian. Dalam bab ini akan dibahas mengenai keluarga ilahi apakah di negara asal,hubungan suami istri menurut agama,hubungan orang tua untuk anak-anaknya,kasih agape di lingkungan keluarga,hidup dalam suasana kehadiran kristus di lingkungan keluarga,pembentukan ke pribadian anak menurut agama,dan akan membahas bagaimana membuat suatu keluarga hidup dalam ajaran agama masing-masing serta memupuk kehidupan beragama yang rukun di lingkungan keluarga. 
Masalah Pendidikan Agama Kristen sebagai upaya pembinaan warga jemaat akhir-akhir ini banyak digalakkan dan dihidupkan ulang di kalangan umat kristiani. Hal ini nampak dari bermacam-macam kegiatan yang mewarnai denyut jantung kehidupan di berbagai gereja maupun persekutuan-persekutuan, di mana semuanya mengarah pada satu tujuan yang sama, yaitu pembinaan warga jemaat dan membuat suatu jalinan umat bergama yang baik di tengah-tengah lingkungan keluarga.

    
BAB II
                                    PEMBAHASAN
Sebuah komitmen dengan ajaran Alkitab dan prinsip-prinsip memberikan harapan terbaik hari ini untuk pemulihan kehidupan keluarga.

A. Keluarga Ilahi Apakah di Negara Asal
            1. Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sendiri.
"Kemudian Allah berkata, 'Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar Kita, menurut rupa Kita" .Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya; Dia menciptakan dia dalam gambar Allah, Dia menciptakan mereka laki-laki dan perempuan "(Kejadian 1:26 -27).Lalu Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah, dan meniupkan kedalam lubang hidungnya napas kehidupan, dan manusia menjadi makhluk yang hidup"(Kejadian 2:7).
            2. Tuhan menciptakan manusia sehingga kebutuhan dan menemukan kepuasandalam persahabatan manusia.
"Tuhan berkata," Tidak baik, kalau manusia seorang diri saja, aku akan membuatnya cocok penolong baginya '"(Kejadian 2:18).3.
            3. Allah memulai unit keluarga pertama.
Jadi TUHAN Allah membuat manusia itu tidur mendalam untuk datang keorang itu, dan ia tidur. Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya dan menutup daging di tempat itu. Lalu TUHAN Allah membuat Dia rusuk yang diambil dari pria menjadi wanita dan membawanya ke manusia "(Kejadian2:21-22).


1.1. Keluarga Ilahi Apakah di Tujuan.Allah menciptakan keluarga, dan Dia memiliki tujuan ilahi untuk itu. Setelah tujuan- Nya untuk pernikahan dan kehidupan keluarga memberi kita kesempatan terbaik untuk pemenuhan keluarga.4.
4. Persahabatan adalah tujuan dasar Allah untuk pernikahan dan kehidupan keluarga. Seks adalah Allah ditahbiskan cara mengatasi kesepian penting dari eksistensi manusia."Lalu TUHAN Allah berkata," Tidak baik manusia itu seorang diri saja. Aku akan membuat penolong yang seperti dia '"(Kejadian 2:18).
"Inilah sebabnya mengapa seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunyadan obligasi dengan istrinya, dan mereka menjadi satu daging" (Kejadian2:24)."'Tidakkah kamu baca," Dia [Yesus] menjawab,' bahwa Dia yang menciptakan mereka pada awalnya membuat mereka laki-laki dan perempuan, dan Dia juga mengatakan : Untuk alasan ini seorang pria akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bergabung dengan istrinya, dan dua akan menjadi satu daging,Jadi mereka bukan lagi dua, melainkan satu daging. Oleh karena itu apa yang Allah telah bergabung bersama-sama, manusia tidak harus memisahkan'"(Matius 19:4-6).
            5. Prokreasi merupakan tujuan dasar dari Tuhan untuk keluarga.
"Allah memberkati mereka, dan Allah berkata kepada mereka," Jadilah berbuah, berkembang biak, memenuhi bumi ... "(Kejadian 1:28)."Anak-anak memang warisan dari Tuhan, anak-anak, hadiah ... Seperti anak  panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak ... Happy adalah orang            yang telah memenuhi bergetar dengan mereka" (Mazmur 127:3-5).6.
            6. Pemeliharaan masih satu tujuan dasar dari Tuhan untuk keluarga.
"Sekarang jika orang tidak memeliharakan sanak sendiri, dan terutama untuk rumah tangga, dia telah murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak  beriman" (1 Timotius 5:8).

"Dia juga berkata kepada mereka, 'Anda benar-benar membatalkan perintahAllah untuk menjaga tradisi Anda! Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu, dan, Barangsiapa mengutuki ayahnya atau ibunya harus dihukum mati. Tetapi kamu berkata, "Jika seorang pria mengatakan kepada ayah atau ibunya : Apapun menguntungkan Anda mungkin telah menerima dari saya adalah Corban" '(yaitu, hadiah [berkomitmen untuk kuil]),' Anda tidak lagi membiarkan dia melakukan apapun untuk nya ayah atau ibu. Anda mencabut firman Tuhan dengan tradisi Anda bahwa Anda telah diturunkan.Dan Anda melakukan banyak hal lain yang serupa "(Markus 7:9-13) '.
1.2. Alkitab Berisi Prinsip Ilahi untuk Hubungan Keluarga Baik.Tujuan Tuhan bagi keluarga telah ditantang, tetapi mereka belum berubah. DalamAlkitab, Tuhan memberikan prinsip-prinsip dan kekuatan dengan mana tujuan-Nyauntuk keluarga bisa terpenuhi.
B. Hubungan Suami-Istri
            7. Panggilan Alkitab untuk hubungan pernikahan akan ditandai dengan penyerahan bersama dan sukarela dalam saling menghormati dan kepercayaan."... Mengirimkan satu sama lain dalam takut akan Kristus" (Efesus 5:21).8.
            8. Alkitab menyebut untuk pemenuhan timbal balik dalam hubungan seksualdalam hubungan pernikahan.
            "Seorang suami harus memenuhi kewajiban perkawinannya kepada istrinya,dan juga seorang istri kepada suaminya. Seorang istri tidak memiliki otoritasatas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya tidak. Sama, suami tidak memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya tidak "(1 Korintus 7:3-4).9.
            9.Alkitab panggilan untuk kesetiaan timbal balik dalam hubungan monogami."Pernikahan harus dihormati oleh semua, dan ranjang pernikahan tetap bersih,karena Allah akan menghakimi orang tidak bermoral dan pezinah" (Ibrani13:4)."Jangan berzinah" (Keluaran 20:14).10.

C. Hubungan Istri Kepada Suami.
a. Dia adalah mencintainya
    "Wanita yang lebih tua adalah untuk mendorong wanita muda untuk mengasihi suami mereka sehingga pesan Tuhan tidak akan difitnah" (Titus 2:03 - 5).
 b. Dia harus responsif terhadap kepemimpinannya
"Istri,tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri seperti juga Kristus adalah kepala gereja. Dia adalah Juruselamat tubuh. Sekarang sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, sehingga istri-istri harus [menyerahkan] kepada suami dalam segala sesuatu "(Efesus 5:22-24)."Istri, dengan cara yang sama, mengajukan diri untuk suami Andasendiri sehingga, bahkan jika beberapa tidak mematuhi [Kristen] pesan, mereka mungkin dimenangkan tanpa pesan dengan cara hidup istri-istri mereka, ketika mereka mengamati murni Anda, kehidupan hormat "(1 Petrus 3:1-2).
Allah memerintahkan bahwa istri-apakah menikah dengan orang percaya atau non-percaya-harus berusaha untuk menghormati kepemimpinan suami mereka. Bagian ini menunjukkan bahwa hidup yang patut diteladani istri 'dapat menyebabkan suami mereka yang tidak percaya untuk datang mengenal Kristus secara pribadi. Sebuah hidup yang dipenuhi Roh dapat menghukum dan juga menyediakan sebuah platform untuk berbagi Injil. Bagian ini, bagaimanapun, tidak menunjukkan bahwa istri harus mematuhi suaminya ketika tindakan seperti itu akan membatalkan atau kompromi kesaksian Kristen nya.
 c. Dia menghormatinya.
"Istri adalah menghormati suaminya" (Efesus 5:33).Hubungan suami untuk istri..
 Dia adalah untuk mencintainya
"Hai suami, kasihilah istrimu, sama seperti juga Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri baginya Dalam cara yang sama, suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri ... masing-masing dari Anda adalah untuk mengasihi istrinya seperti dirinya sendiri ..." (Efesus 5:25, 28, 33).

a. Ia harus berkomitmen untuk itu.
"Untuk alasan ini seorang pria akan meninggalkan ayahnya dan ibunyadan bersatu dengan istrinya, dan dua akan menjadi satu daging"(Efesus 5:31). b.
 b. Ia menjadi perhatian dari dirinya.
"Suami, dengan cara yang sama, hidup dengan istri Anda dengan pemahaman sifat lemah mereka belum menunjukkan mereka menghormati sebagai co-pewaris dari kasih karunia kehidupan,sehingga doa-doa Anda tidak akan terhalang" (1 Petrus 3:7).
D. Hubungan orang tua untuk anak-anak mereka
1. Orangtua bertanggung jawab untuk mengajar anak-anak mereka
"Kata-kata bahwa saya memberi Anda saat ini berada di hati Anda. Ulangimereka untuk anak-anak Anda. Bicara tentang mereka ketika Anda duduk dirumah Anda dan ketika Anda berjalan di sepanjang jalan, ketika Anda berbaring dan saat Anda bangun "(Ulangan 6:6-7).
2. Orang tua harus melatih anak-anak.
"Mengajarkan seorang pemuda tentang cara ia harus pergi, bahkan ketika iasudah tua ia tidak akan menyimpang dari itu" (Amsal 22:6).
3. Anak-anak membutuhkan disiplin yang penuh kasih.
"Dan ayah, jangan membangkitkan amarah pada anak-anak Anda, tetapididiklah mereka dalam pelatihan dan pengajaran Tuhan" (Efesus 6:4).
4. Anak-anak membutuhkan contoh yang layak.
"... Jelas mengingat iman yang tulus Anda yang pertama hidup di dalam nenekmu Lois, maka di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin ada di dalam kamu juga" (2 Timotius 1:5).

"Uzia ... melakukan apa yang benar di mata Tuhan sebagai Amazia, ayahnyatelah dilakukan" (2 Tawarikh 26:3-4).
E. Hubungan anak-anak kepada orang tua mereka
1. Anak-anak untuk menghormati orangtua mereka.
"Hormatilah ayahmu dan ibumu sehingga Anda mungkin memiliki umur yang panjang di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu" (Keluaran20:12).
Anak-anak harus menaati orang tua mereka."Anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena ini adalah benar"(Efesus 6:1)."Anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena ini menyenangkan  di dalam Tuhan" (Kolose 3:20).
2. Anak-anak belajar dari orangtua mereka.
"Dengar, anak saya, untuk instruksi ayahmu, dan jangan menolak ajaran ibumu" (Amsal 1:8).
3. Anak-anak untuk menyediakan bagi orang tua yang membutuhkan mereka.
"Tetapi jika ada janda memiliki anak atau cucu, mereka harus belajar untuk mempraktekkan agama mereka terhadap keluarga mereka sendiri pertama dan untuk membayar orang tua mereka, untuk ini menyenangkan Tuhan" (1Timotius 5:4).
Anak merupakan berkat khusus yang Tuhan percayakan kepada sebuah keluarga.Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam hubungan antara orang tua dan anak.
a.  Kasih yang merata
Setiap manusia merupakan gambar Allah, dan mempunyai kekayaan kepribadian tersendiri.Hal itu menjadi tantangan untuk pendidikan anak-anak agar orang tua menggali, menghargai,dan mengembangkan setiap bakat anak. Banyak anak mengalami frustrasi dalam perkembangannya karena diberi cap tertentu oleh orang tuanya. Mereka terus dibandingkandengan kakak atau adiknya, sehingga harga diri tertekan. Tekanan itu dapat membentuk jiwa pemberontak.
Akibat kasih yang tidak merata dan tidak adanya kesatuan antara kedua orang tua makaakibatnya akan dipanen pada masa mendatang (contoh Ishak dan Ribka) Alkitab mengajarkan bahwa Allah tidak memandang bulu, dan para tuan dan para hamba diperingatkan bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan yang tidak memandang muka´ (Roma2:11; Efesus 6:9). Dengan demikian setiap orang tua Kristen harus mengasihi anak-anaknya tanpa Pilih kasih.
b. Menerima kehadiran anak dengan sukacita
Suami dan istri harus menerima kehadiran anak dengan rasa sukacita, hal tersebut menjadi titik tolak yang menentukan dalam pendidikan orang tua terhadap anak dan juga menentukan dalam perkembangan anak itu sendiri (contoh Yusuf).Banyak anak mengalami komplikasi jiwa, bilamana mereka makin lama makin menyadari bahwa kehadiran mereka sebenarnya tidak diinginkan oleh orang tuanya. Mereka haus akan kasih dan mencari kompensasi kasih di luar rumahnya.
c.  Mendidik anak secara bersama
Mendidik anak bukanlah sesuatu yang mudah. Orang tua dituntut dalam seluruhkepribadiannya, bahkan keadaan rohaninya diuji. Anak-anak membutuhkan waktu dan perhatian kedua orang tuanya. Para ayah tidak boleh menyerahkan masalah pendidikan kepada para ibu saja, demikian sebaliknya. Mereka harus bertanggung jawab atas keadaan anak-anaknya. Mereka harus bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan pendidikan anak-anak. (contoh Yusuf dan Maria)
d. Menjaga Komunikasi
Tantangan yang dihadapi oleh orang tua dalam pendidikan anak, khususnya anak yang memasuki masa remaja adalah jurang komunikasi (contoh Yusuf dan Maria). Memang wajarlah anak-anak remaja dalam pergumulan pertumbuhan jiwa dan tubuhnya mengalami fase di mana mereka berkata, orang tuaku tidak mengerti aku, bahkan aku tidak mengerti diriku sendiri.Sebab itu sangat perlu bagi orang tua menjembatani jurang itu. Orang tua harus terjun dalam minat dan alam pikiran mereka, mengambil kesempatan bercakap-cakap bila kesempatan itu muncul, menghargai dan menampung pikiran dan pandangan mereka,meskipun kurang baik dalam pengertian kita, dan terutama mengajak mereka secara informal membaca Alkitab dan berdoa. Orang tua harus menyadari bahwa di balik segala penolakan terhadap perkara-perkara rohani, hiduplah jiwa anak yang kosong dan kacau, yang sebenarnya sangat merindukan Tuhan.
e. Bagaimana jika orang tua bekerja?
Orang tua harus berdoa bersama dan bertanya kepada Tuhan dengan membentangkan situasi keluarga di hadapan Tuhan, apakah Tuhan menghendaki mereka berdua bekerja atau salah satu saja yang bekerja, mereka akan mendapat dari Tuhan sejahtera untuk hal itu. Prinsipnya anak-anak harus tetap diperhatikan. Dan orang tua harus tetap dalam kesadaran bahwa menikah adalah suatu panggilan dan tanggung jawab di hadapan Tuhan yang tidak boleh dilalaikan atau digampangkan.
KEUNIKAN PERAN ORANG TUA DI DALAM PENDIDIKAN KRISTEN
Dari Ulangan 6: 4-9
Kita mendapatkan secara jelas. perintah Allah pada orang tua untuk mendidik dan mengajarkan pada anak mereka prinsip-prinsip hidup beriman. Dalam keadaan yang wajar, tidak ada orang lain yang mempunyai keintiman hubungan dengan seorang anak seperti orang tuanya. Juga tidak ada orang lain yang mempunyai banyak kesempatan dan waktu untuk berhubungan dengan anak seperti orang tuanya. Kedua hal ini menyebabkan peranan unik orang tua dalam pendidikan Kristen di keluarga.Karena adanya keunikan seperti ini, maka perintah Allah untuk "mengajar berulang-ulang",membicarakan firman Allah "apabila duduk di rumahmu, apabila berbaring dan apabila engkau bangun", dapat dilakukan.
 Guru pendidikan umum (misalnya S.D.), yang bertemu 5 jam sehari dengan seorang anak, tidak mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi anak itu  sebanyak orang tuanya, apalagi guru Sekolah Minggunya (hanya sejam atau dua jam seminggu).
Pengaruh iman Kristen ini bukan saja diberikan dalam bentuk kata-kata, nasihat atauwejangan. Di samping melalui mulut, orang tua juga harus mengajarkan firman Allah melalui tingkah laku, sikap hidup, nilai-nilai dan cara berpikirnya (yang dikiaskan dengan "tanda pada tanganmu" dan "lambang di dahimu"). Rumah (dan bahkan kalau mungkin kota/negara) kita haruslah disaturasi (saturated) dengan Firman Allah itu.

PEMBENTUKAN KEPERIBADIAN ANAK
Dalam keadaan wajar (misalnya anak bukan yatim piatu, anak tidak dipelihara kakek nenek atau di"serahkan" pada pembantu rumah tangga), orang tua merupakan orang yang paling penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pembentukan dan penularan kepribadian terjadi pada seorang terutama pada masa mudanya. Yang dimaksudkan masa muda di sini bukan saja pada masa kanak-kanak, tetapi juga pada waktu seorang masih balita, bayi, bahkan pada waktu ia masih janin di dalam kandungan.
Beberapa minggu sebelum seorang dilahirkan pun proses pembentukan kepribadiannya sudah dimulai. Obat-obatan yang dimakan si ibu; rokok yang dihisapnya, dan keadaan emosinya,akan mempengaruhi kepribadian anaknya meskipun ia masih janin (ibu yang perokok berat,ibu yang pemarah dan suka berteriak-teriak pada bulan-bulan akhir kandungannya – misalnya karena suaminya menyeleweng pada waktu itu - akan memberikan pengaruh yang negatif  pada kepribadian anaknya). Jadi terdapat pengaruh psikis di samping tentunya pengaruh fisik.

Setelah anak itu lahir dan mulai dibesarkan, sikap, tingkah laku dan pendapat orang tuanya padanya membentuk kepribadian dasarnya. Untuk ini kita sangat diingatkan pada Amsal22:6. Gereja Roma Katolik sadar akan pentingnya pendidikan pada masa muda ini hingga mereka menginvestasikan banyak dana dan usaha dalam pendidikan anak. Psikologi jugasadar akan masa kritis pembentukan kepribadian seorang sebelum ia mencapai umur kira-kiradelapan tahun. Bila setelah meninggalkan masa kanak-kanak seorang berkepribadian tidak sehat, sangat sukar mengubahnya menjadi berkepribadian sehat kelak.
Faktor-faktor apakah yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kepribadian sehat.
A. Agape sebagai dasar
            Dalam mendidik anak, kita mencontoh Kristus yang mengubahkan dan mendewasakan kepribadian kita. Kasih Allah (Agape) yang tanpa syarat (lihat Unconditional Love ini dalamRoma 5:6, 8, 10) seperti diperintahkan dalam Yoh. 13:34 menjadi dasar perlakuan kita pada anak kita. Dalam hubungan kita dengan anak kita, kita juga ingat dan berusaha terus menerapkan definisi Agape - "menghendaki, merencanakan, dan melakukan yang baik bagikekasih kita (dalam hal ini anak kita).
"Kasih Agape inilah yang dapat menyebabkan basic trust (rasa aman dasar) tumbuh dengan subur dalam diri anak kita. Agape yang menumbuhkan basic trust ini mengharuskan kitahangat pada anak kita, banyak menjamah dan memeluknya pada masa kanak-kanaknya,memperhatikannya, serta selalu menghargai dan respek terhadap ciptaan dan peta Allah ini.Tanpa adanya dan berkembangnya basic trust yang memadai pada masa pembentukan kepribadiannya, seorang akan mengalami banyak problema dalam hidupnya. Kepribadiannya akan menjadi parah.
Seorang anak balita yang selalu dipukul, dimaki-maki, diacuhkan, dan dihina, tidak akan mempunyai basic trust yang memadai. Ia tidak akan "kerasan" hidup dalam dunia ini, ia akan memusuhi dan memandang manusia lainnya dengan curiga atau takut, ia akan "melukai"orang lain agar tidak "dilukai" lebih dulu, ia akan merasa tidak berharga (dengan segalamacam problema yang mengikuti "minder" ini) dan menjadi musuh bagi dirinya sendiri, iaakan mempunyai kecemasan yang tinggi, ia tidak tahan dan takut pada stress yang wajar hingga tidak dapat sungguh-sungguh hidup efektif dan berprestasi. Bila ini terjadi padaseorang, hanyalah Kristus yang dapat memperbaiki hidup dan kepribadiannya.
B. Disiplin dan Tanggung Jawab
            Seorang harus hidup berdisiplin dan bertanggung jawab agar berbahagia. Disiplin ini paling mudah ditanamkan dan melekat pada masa kanak-kanak. Dalam menanamkan disiplin dan tanggung jawab pada anak, kita ingat bahwa Alkitab mengajarkan dan memerintahkan kita untuk juga menggunakan hajaran (bukan ajaran saja) bila seorang kanak-kanak memerlukannya (Amsal 13:24; 22:15; 23:13, 14; 29:15; Ibrani 12:5-10). Banyak ahli pendidik tidak menyetujui sama sekali penggunaan pukulan, tetapi kehendak Allah jelas dalam hal ini. Tentunya kita harus bijaksana dalam menggunakan hajaran (misalnya, tidak  bila anak kita "nakal" kreatif tetapi bila ia nakal memberontak dan pemalas).
Ada juga batasan ketika menggunakan hajaran untuk mendidik. Kasih agape secara mutlak harus tetap ada dan aktif; misalnya tidak menghajar sebagai pelampiasan emosi karena kita sedang frustrasi atau marah. Kita tidak boleh menginginkan kecelakaan dan "kerusakan" anak kita itu (Amsal 19:18) tetapi selalu menghendaki dan bertindak demi kebaikan anak kita itu(lihat definisi agape di atas).
Dalam menghukum anak kita, yang kita benci dan serang adalah tindakan dan sikapnya yang berdosa, bukan anak kita itu (kits tidak berkata: "Anak, brengsek, pendusta; mati saja kau!"tetapi "Papa tidak senang Andi berbohong seperti itu.") Sama seperti Allah membenci dosakita tetapi mengasihi kita orang berdosa, kita tetap mengasihi anak kita apapun sikap dan. perbuatan dosanya. Segera setelah kita menghukumnya, kita memeluknya. Kita selalu menerimanya penuh dan tanpa syarat. Agape ini akan menghindarkan sakit hati dalam diri anak pada waktu kita menghajarnya (Kolose 3:21; Efesus 6:4).
Tanpa hajaran dalam agape pada masa kanak-kanak, seorang tidak akan "yakin" bahwanyontek - dan kelak korupsi - tidak boleh dilakukan, bahwa menghadapi lampu merah iaharus berhenti, bahwa PR harus dikerjakan, bahwa hutang harus dibayar, dan bahwa meja  atasan tidak boleh di gebrak balik. Hati nuraninya juga tidak akan terbentuk secara peka danlengkap.

HIDUP DALAM SUASANA KEHADIRAN KRISTUS
 Kepribadian orang tua ditularkan pada anak melalui penyerapan lebih daripada melalui kata-kata. Seorang anak menyerap nilai, sikap dan pandangan orang tuanya dan menjadikannya miliknya. Sering penularan ini terjadi tanpa disadari orang tuanya karena banyak aspek kepribadian orang tua dipancarkan tanpa mereka sadari. Kalau mereka tidak jujur, sifat pembohong ini akan diserap anak mereka; mereka tidak perlu berkata, "Jadilah seorang pembohong.
"Karena hal itulah, sebagai orang tua kita sendiri harus mempunyai kepribadian yang sehatdan dewasa. Perubahan kepribadian kita untuk menjadi dewasa seperti Kristus juga kita peroleh dengan "menyerap" sifat-sifat Kristus waktu kita bersekutu dengan-Nya. Persekutuan ini terjadi baik di gereja bila kita berbakti, waktu kita berdoa, membaca Alkitab dan bersaat teduh, tetapi juga - dan yang terutama - dalam hidup sehari-hari kita.
Entah kita merasakan hadirat-Nya atau tidak, kehadiran Kristus dalam hidup kita adalah suatufakta (Matius 1:23; 28:20). Suatu pertanyaan penting yang akan mengubah kepribadian dan sikap kita sehari-hari ialah : Apakah kita memperlakukan Kristus serta bertindak, bersikap, berbicara dan berpikir dengan kesadaran (awareness) bahwa Ia, Yang Mahakudus, ada disamping kita setiap saat; ataukah kita menganggap-Nya sebagai angin saja, dan mengacuhkanNya. Hidup dengan kesadaran kuat bahwa Kristus berdiri di camping kita tiapsaat ini saga sebut HIDUP DALAM SUASANA KEHADIRAN KRISTUS.

Jikalau kita menerapkan secara konsisten dan terus menerus Hidup Dalam Suasana Kehadiran Kristus, keadaan ini akan mendarah daging dan menjadi bagian dari kepribadiankita. Kita sendiri akan diubahkan menjadi seperti Kristus (Roma 8:29; Filipi 2:5; Efesus4:13). Sama seperti rasul Paulus kemudian kita berkata pada anak kita "Jadilah pengikutkusama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus" (I Kor. 11: 1)
Di samping melalui pengajaran "formal" (di Sekolah Minggu, pada waktu kita bersaat teduh dengannya dan waktu menceritakan cerita-cerita Alkitab padanya), anak kita makin harimakin dibentuk kepribadiannya menjadi seperti Kristus melalui penyerapan juga. Anak kitamenyerapnya dari kita sementara kita menyerapnya dari Kristus. Anak kita perlu merasakankehadiran Kristus di mana-mana dalam hidupnya sehari-hari melalui orang tuanya.
Dalam memperkenalkan siapa Kristus itu kepada anak kita, dengan sangat efektif kita dapat mengajarkan sifat-sifat Allah, nilai-nilai Kristus, sikap, perasaan dan pandangan-Nya, serta respons kita seharusnya pada-Nya, bila kita Hidup Dalam Suasana Kehadiran Kristus.
a. Kemahahadiran Allah kita ajarkan pada anak kita bila kita sering berbicara dengan Allahdi segala tempat (bukan hanya dalam doa yang disertai tekuk lutut dan kata-kata indah, tetapidalam segala situasi dan posisi dengan kata-kata sederhana. Kita berbicara dengan Allahseperti kita berbicara dengan isteri yang berdiri di samping kita.)
b. Kemahakuasaan Allah serta Allah sebagai sumber pertolongan kita ajarkan bila kitamembiasakan diri sering memohon pertolongan Allah seperti kita minta tolong suami kitamelakukan sesuatu.
c. Hati yang bersyukur akan menjadi bagian dalam hidup anak kita bila ia tahu sehari-harinya kita sering berterima kasih pada Kristus. Sekali lagi yang saya maksudkan bukan sajawaktu kita berdoa dengan bertekuk lutut dan melipat tangan, tetapi dalam suasana biasa kita berkata: "Terima kasih, Yesus." Bukankah kita juga mengajar anak-anak kita untuk berterimakasih bila diberi sesuatu.
d. Kepasrahan pada Allah kita ajarkan pada anak kita dengan sikap iman dan keteguhan(bukan kecemasan dan ketakutan) pada masa krisis dan kritis.
e. Kepekaan terhadap kebenaran kita tularkan pada anak kita jika kita sendiri sangat sensitif terhadap dusta dan bohong, menghindari segala macam dusta (termasuk dusta-dusta kecilatau dosa-dosa putih). Dalam hal ini tentunya perlu diterapkan terus "kebenaran di dalamkasih" (Ef. 4:15), agar kita tidak menularkan ke"parisi"an kepada anak kita.
Dalam buku terkenal "In His Steps," penduduk suatu tempat, bertekad untuk selalu bertindak seperti Kristus. Mereka selalu bertanya "Apa yang akan dilakukan Kristus bila Ia ada ditempatku?" apabila harus bertindak atau memutuskan sesuatu. Hidup dalam suasanakehadiran Kristus ini lebih dari hanya menanyakan pertanyaan itu. Kita bukan saja bertindak seperti Kristus tetapi juga merasakan pengharapan, iman, damai Kristus (yang menyebabkanNya dapat tidur lelap di buritan perahu di tengah badai) karena sadar (aware) akan kehadiran Kristus di sisi kita. Lenyaplah ketakutan, kecemasan, putus asa yang banyak merongrong kepribadian kita. Jadi kita tidak hanya mengarah pada pembentukan tingkah lakutetapi seluruh kepribadian (perbuatan, perasaan, sikap, nilai-nilai, pikiran dan iman) diri dananak kita; dan bila diperlukan perubahan, bukan saja perubahan tingkah laku tetapi juga perubahan kepribadian.
Di sini letak salah satu perbedaan antara theologi dan psikologi. Psikologi tidak terlaluoptimis terhadap kemungkinan perubahan kepribadian seorang (bahkan ada psikolog- psikolog yang berpendapat bahwa setelah kepribadian terbentuk, tidak akan dapat diubah lagi). Tesis Alkitab justru menyatakan bahwa di dalam Kristus ada perubahan. Kristuslah yang merubah hidup kita. Di tiap buku Alkitab diminta dan diperintahkan perubahan kelakuan, iman,pandangan, sikap. Perubahan total terjadi pada waktu lahir baru dan setelah itu tiap hari kita harusberubah, bertambah lama bertambah dewasa seperti Kristus. Tentunya perubahan ini adalah karyadan anugerah Allah dalam hidup manusia, bukan usaha manusia itu sendiri.

FAMILY ALTAR
 Di samping hidup dalam suasana kehadiran Kristus, perlu ada saat-saat tertentu kita bersekutu dengan Allah sebagai satu keluarga. Perlu ada Family Altar.Tujuan utama Family Altar bukan mengajarkan isi Alkitab, bukannya suatu kebaktian dan penyembahan yang "dalam," bukannya sebagai suatu keharusan karena yang lain melakukannya, bukan untuk menenangkan rasa bersalah pada orang tua, bukannya suatu ritusyang harus tiap hari dilakukan. Secara sederhana, tujuan utama Family Altar ialah persekutuan keluarga dengan Kristus. Pengetahuan Alkitab yang bertambah, dan kadang-kadang adanya penyembahan yang dalam, adalah hasil sampingan.
Suatu syarat penting demi berhasilnya Family Altar ialah adanya suasana yang rileks, hangatdan menyenangkan. Kita tidak perlu secara ketat mengikuti suatu program saat teduh yangsering menyebabkan ketegangan dan kekakuan. Family Altar sebaiknya merupakan saat yang menyenangkan bagi tiap anggota keluarga hingga tidak akan menyebabkan suatu beban.Format Family Altar harus fleksibel, tidak boleh kaku. Perubahan harus dapat terjadi disesuaikan dengan perubahan jadwal, usia, interest anggota keluarga.
Perlu juga diusahakan agar waktu untuk Family Altar tidak terdesak oleh kesibukan-kesibukan lain. Ada keluarga yang senang berkumpul bersama setiap pagi setelahmembersihkan diri, ada yang pada waktu makan pagi atau malam, ada yang sore hari ataupunsebelum tidur.
Ada tiga unsur utama dalam Family Altar. Unsur-unsur ini bukan suatu yang mutlak harusada pada tiap Family Altar tetapi hanya sebagai patokan:
(1) Ajaran.
Di sini dapat dipakai cerita Alkitab bagi kanak-kanak, buku penuntun saat teduh, buku-buku rohani lainnya, ataupun langsung dari Alkitab. Tentang sulitnya bahan atau materiyang dipakai tentunya harus disesuaikan dengan keadaan anak.
(2) Pujian
 Satu atau dua lagu dapat dinyanyikan pada waktu Family Altar.
(3) Doa
            Dalam doa, dinaikkan ucapan syukur keluarga, syafaat keluarga dan permohonan bagi orang lain. Tambah dewasa anak kita, doa yang dinaikkan lebih bersifat komunikasi terbuka (tidak doa-doa yang terstruktur saja). Kejujuran dan ketulusan adalah sangat penting.Anggota keluarga'kita sangat tahu akan keadaan kita sehari-hari. Kita tidak dapat berpura- pura di hadapan mereka. Kemunafikan akan menyebabkan mereka segan berpartisipasi dalamFamily Altar. Bahasa yang digunakan juga tidak perlu muluk-muluk.
Tiap anggota keluarga harus ikut mengambil bagian dalam Family Altar ini, termasuk yangmasih kanak-kanak. Anak kecil mungkin belum dapat memimpin doa, tetapi ia dapat memilih nomor lagu. Perlu diusahakan agar tiap anggota merasa bahwa ia ikut memiliki Family Altar ini.
Pada waktu anak kita masih kecil, fakta dari pelajaran yang dibaca dapat ditanyakan, setelah mulai dewasa sekali-kali dapat diadakan diskusi sederhana di mana ia dapat mulaimenyatakan pendapatnya. Pendapat ini harus dihargai dan tidak boleh diremehkan. Anak tidak boleh ditertawakan waktu menyatakan pendapatnya, betapa pun sepele rasanya pendapat itu bagi orang dewasa. Arti dari materi ajaran juga dapat ditanyakan. Evaluasi dariajaran yang dibaca waktu Family Altar tambah lama tambah dapat dibahas. Kelak aplikasi juga diminta untuk diterapkan keluarga.
Kita juga mengharapkan adanya pembentukan kepribadian yang sehat melalui Family Altar tetapi kita harus berhati-hati agar tidak timbul kesan adanya "pesan sponsor" (etika) yang harus jelas dan harus ada tiap kali. Tidak boleh ada kesan bahwa Family Altar adalah kesempatan dan alat orang tua mengkhotbahi anak mereka tiap hari. Persekutuan denganKristus harus selalu menjadi tujuan utama. Kita puas bila melalui Family Altar tiap anggota tiap hari, betapapun sedikitnya, datang pada Kristus dalam doa, pujian dan ucapan syukur.
Dr. Jonathan A. Trisna (D. Min., Philips University; M. Div., Nazarene TheologicalSeminary; M.A., Bethany Nazarene College; B.A., Oklahoma City Southwestern College)adalah seorang konselor dan Pendeta Gereja Bethel Indonesia. Beliau juga mengajar diLembaga Pendidikan Theologia Bethel Jakarta. Dengan istrinya, Harjanti, beliau mempunyai seorang putra dan seorang putri.
Buku-buku oleh Dr. Jonathan A. Trisna:
- Pernikahan Kristen suatu usaha dalam Kristus
- Berpacaran dan Memilih Teman Hidup
- Konseling Pra Nikah
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Alkitab berisi rencana Tuhan untuk mencapai kualitas dan kesehatan dalam kehidupan keluarga. Kristen dibatasi untuk mengambil sangat serius Firman Allah yang berkaitan Ingin tahu apa yang Alkitab katakan tentang bergaul dengan orang tua Anda ? Berikut adalah beberapa ayat Alkitab yang membantu Anda mengetahui lebih banyak tentang apa yang Tuhan harapkan dari remaja Kristen dan orang tua mereka dan dalam kehidupan beragama di lingkungan keluarnga.
 Keluaran 20:12- ". Hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu" (NIV)
 Keluaran 21:15 - "Siapa pun yang menyerang ayahnya atau ibunya harus dihukum mati." (NIV)
 Amsal 01:08 - "Dengar, anak saya, untuk instruksi ayahmu dan tidak meninggalkan ajaranibumu." (NIV)
 Amsal 10:01 - "The amsal Salomo: Anak yang bijak mendatangkan sukacita kepadaayahnya, tetapi anak bodoh kesedihan ibunya." (NIV)
  Amsal 23:25 - "Semoga ayah dan ibu Anda senang, semoga dia yang memberi Anda lahir bersukacita!" (NIV)
 Amsal 31:26-31 - "Dia berbicara dengan hikmat, dan instruksi yang setia di lidahnya Diamengawasi urusan rumah tangga dan tidak makan roti kemalasan anak-anaknya muncul danmemanggil memberkatinya; suaminya juga, dan dia memuji dia: "Banyak perempuanmelakukan hal-hal mulia, tetapi Anda melebihi mereka semua."
Mantra adalah menipu, dankeindahan cepat berlalu, tetapi seorang wanita yang takut akan TUHAN adalah menjadidipuji Berikan hadiah dia telah mendapatkan gelar, dan biarkan. dia bekerja membawamemuji dia di pintu gerbang kota ". (NIV)
 Mazmur 103:13- "Sebagai seorang ayah memiliki belas kasih pada anak-anaknya, sehinggaTUHAN menaruh belas kasihan pada orang-orang yang takut akan Dia;" (NIV)
 Amsal 3:11-12 - "Hai anakku, janganlah anggap rendah disiplin TUHAN dan tidak membenci hardik-Nya, karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, sebagai seorang ayah [a] putra yang nikmat masuk (NIV)
 Amsal 23:24 - "Ayah dari orang benar memiliki sukacita yang besar, ia yang memiliki seorang putra yang bijaksana senang dalam dirinya." (NIV)
 Kolose 3:21 - "Bapa, jangan memahitkan anak-anak Anda, atau mereka akan menjadikecewa."











DAFTAR PUSTAKA

www.scribd.com

0B7CMs6wd8WVvb0pOTUNiX0twdTQ/view

Kamis, 22 Desember 2016

tm bahasa indonesia

TUGAS MANDIRI
BAHASA INDONESIA

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PEKERJA PERANTAU DALAM SOSIALISASI BAHASA SEHARI-HARI DENGAN KONTEKS MULTIKULTURAL DI PT CIBA VISION BATAM”





Di susun oleh : 
Nama             :Wantri Junedi Manurung
Npm              :150210169
Dosen            : Dairi Sapta Rindu Simanjuntak,S.Pd.,M.Si
Kode Kelas   : 152-UM311-M5


UNIVERSITAS PUTERA BATAM
2015/2016



KATA PENGANTAR

                       
                        Puji Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala kasih dan anugerahNya sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dalam bentuk dan isi yang sederhana.Dan saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Dairi  sebagai dosen BAHASA INDONESIA sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini,
                        Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dan dapat menambah pengetahuan pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik lagi.
                        Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh karena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


                                                                                                Batam, Juli 2016
                                                                                                Penyusun

Wantri Junedi manurung



DAFTAR ISI







ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PEKERJA PERANTAU DALAM SOSIALISASI BAHASA SEHARI-HARI DENGAN KONTEKS MULTIKULTURAL DI PT CIBA VISION BATAM


BAB 1

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang kaya raya. Tidak hanya kondisi geografis yang luar biasa, tetapi sosiokulturalnya pun beranekaragam. Hal ini karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki keragaman bahasa, sosial budaya, etnis, suku, agama, dan status sosial. Kondisi seperti ini oleh Watson (dalam Setyaningsih 2010) dikatakan sebagai masyarakat majemuk atau multikultur, yaitu masyarakat yang di dalamnya berkembang banyak kebudayaan. Mereka terdiri atas beragam etnis yang mempunyai budaya, bahasa, dan agama atau keyakinan yang berbeda-beda. Keragaman ini sangat kondusif bagi munculnya konflik sosial dalam berbagai dimensi kehidupan. Kondisi Indonesia yang kaya dengan keanekaragaman suku, etnis, bahasa, budaya, dan adat istiadat ini sangat rentan jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat harus mempunyai cara pandang atau wawasan berorientasi nasional.
Bhineka Tunggal Ika sebagai motto negara yang diangkat dari penggalan kekawin Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada zaman Keprabonan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai, tetapi satu atau although in pieces yet one (Wikipedia). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural dan sosiokultural dibangun di atas keanekaragaman. Dari hal tersebut terkandung maksud bahwa masyarakat multikultural dapat hidup berdampingan, saling menghargai, dan bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya secara harmonis.
Kemultikulturalan ini juga merambah dalam ranah pekerjaan. Salah satu fenomena yang terjadi di Indonesia misalnya, dalam skala nasional banyak pekerja yang pergi mencari uang ke luar daerah seperti pekerja  dari daerah SUMATERA UTARA(Pematang Siantar),SUMATERA BARAT(Padang Pariaman),SUMATERA SELATAN(Lahat), JAWA TENGAH(Banyumas), yang hijrah untuk mencari uang dan pengalaman   di luar daerah.
Dalam posisi ini pekerja tersebut membawa ciri khas masing-masing daerah, baik suku, etnis, bahasa, agama, negara, maupun budaya.
Hal ini karena pekerja tersebut akan bertemu dan berinteraksi dengan pekerja lain yang beranekaragam. Misalnya,pekerja luar Jawa yang mencari uang di pulau Jawa seperti  SUMATERA, Lombok, Flores, Sulawesi atau Papua harus bisa beradaptasi dengan adat dan budaya yang ada di Jawa. Tidak hanya pekerja luar Jawa yang harus bisa beradaptasi, tetapi walaupun sama-sama berasal dari suku Jawa pun harus tetap bisa beradaptasi karena masing-masing individu mempunyai ciri khas suku yang berbeda. Di dalam beradaptasi itulah pekerja harus pandai membawa diri dalam bergaul atau berinteraksi dan bersosialisasi denganpekerja lain. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi salah paham atau konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang dapat menimbulkan perpecahan. Interaksi tersebut tidak hanya terjadi di kampus atau tempat umum, tetapi terjadi juga di tempat tinggal seperti di rumah kos atau kontrakkan.
Salah satu bentuk interaksi dan sosialisasi pekerjayaitu dengan menggunakan bahasa. Walaupun dalam berinteraksi dan bersosialisasi pekerja tersebut menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, tetapi mereka juga menggunakan baha sa daerah (bahasa ibu) sesuai daerah masing-masing. Oleh karena bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik, maka bahasa daerah (bahasa ibu) adalah alat identitas suku. Ada pula pandangan akan adanya hubungan yang tetap dan pasti antara ciri-ciri fisik suatu etnik dengan sesuatu bahasa atau variasi tertentu (Sumarsono 2002). Hal ini menguatkan kalimat bijak yang menyatakan bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Secara singkat kalimat bijak ini memuat makna bahwa bahasa yang digunakan merupakan cerminan dari para penuturnya. Dengan kata lain tutur kata seseorang akan menunjukkan bagaimana sifat dan watak orang itu, dari kalangan mana dia. Karyawan atau pekerja yang menggunakan bahasa SUMATERA UTARA dapat diidentifikasi bahwa pekerja tersebut berasal dari SUMATERA UTARA. Demikian halnya dengan pekerja yang menggunakan bahasa Jawa kemungkinan besar karyawan tersebut berasal dari suku Jawa. Keanekaragaman baik suku, etnis, maupun bahasa ini sifatnya multikultural.

Dalam suatu komunitas  yang merupakan rumah kosatau mesh di DORMITORY BLOK P 15 2-4 MUKA KUNING (Batam) yang dihuni 12 karyawan terdiri atas berbagai latar belakang sehingga dapat dikatakan multikultural.Di dalam dormitory tersebut pekerja di salurkan ke PT CIBA VISION BATAM. Kemultikulturalan tersebut meliputi asal daerah, suku, bahasa, agama, pendidikan, dan adat atau kebudayaan. Berdasarkan asal daerah terdiri atas mahasiswa yang berasal dari  Jawa Tengah (Purbalingga, Banyumas, Semarang, ),Sumatera utara(Pematang Siantar)Sumatera Selatan (Lahat) dan Sumatera Barat(pariaman). Dari latar belakang agama, yaitu sebagaian besar memeluk agama Islam dan sisanya memeluk agama Kristen Protestan dan Katolik. Selain itu, makanan, cara berpakaian, dan cara bertutur merupakan kebiasaan yang beragam di antara penghuni di dormitory tersebut
Kemultikulturalan itulah yang menarik untuk diteliti dari kajian perspektif sosiolinguistik. Dalam penelitian ini aspek yang dikaji antara lain bentuk alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa sehari-haridi di lingkungan PT CIBA VISION BATAM Pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari terbukti kerap menunjukkan identitas diri penutur bahasa tersebut dalam lingkungan sosial. Dalam ilmu kebahasaan atau linguistik, fenomena kebahasaan semacam ini termasuk dalam kajian sosiolinguistik. Salzmann (1993:190) menyatakan sosiolinguistik sebagai linguistik yang bermuatan sosial. Dampak situasi sosial dan psikologis dapat diamati dalam pemakaian bahasa oleh penutur.
Selanjutnya, Hymes (1974) memberikan sejumlah tema yang menjadi ciri khas kajian sosiolinguistik. Tema-tema kajian sosiolinguistik tersebut di antaranya adalah (1) teori bahasa yang tidak melulu menjabarkan tata bahasa melainkan alur pengorganisasian bahasa yang diucapkan, (2) landasan teori dan metodologi yang tidak melulu mencakup pertanyaan mengenai struktur melainkan fungsi, (3) masyarakat bahasa ditentukan berdasarkan cara berbahasa sekelompok orang dan tidak diartikan berdasarkan distribusi ciri-ciri gramatikal semata, (4) kompetensi merupakan kemampuan personal untuk berkomunikasi sesuai dengan konteks, tidak hanya berkisar pada pengetahuan gramatikal, dan (5) bahasa adalah sesuatu yang membentuk masyarakat pemakainya bukan sekadar sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Trudgill (1983) menegaskan kembali pemikiran Hymes dengan menyatakan kajian bahasa dalam konteks sosial merupakan bagian dari topik-topik utama linguistik. Kajian linguistik dapat berupa kajian yang berbasis pada bukti empiris bahasa yang digunakan dalam konteks sosial. Menurut Trudgill kajian seperti ini menampilkan penggunaan sosiolonguistik sebagai suatu cara mengkaji penelitian linguistik (a way of doing linguistics), yang menitikberatkan pada bagaimana bahasa berperan dalam masyarakat (Trudgill 1974).
Hal tersebut sependapat dengan Rokhman (2009) bahwa bahasa dalam kajian sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa sebagaimana dalam kajian linguistik teoretis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Jadi, pada umunya sosiolinguistik mengkaji masyarakat multibahasa atau dwibahasa. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat menggunakan bahasa yang bervariasi dalam arti ada bahasa lain atau ragam lain yang digunakan dalam berkomunikasi sebagai pendamping dan pembanding. Ia juga menyatakan bahwa sosiolinguistik melihat fenomena pemilihan bahasa sebagai fakta sosial dan menempatkannya dalam sistem lambang (kode), sistem tingkah laku budaya, serta sistem pragmatik. Kajian sosiolinguistik menyikapi fenomena pemilihan bahasa sebagai wacana dalam peristiwa komunikasi dan sekaligus menunjukkan identitas sosial dan budaya peserta tutur. Dengan demikian, sosiolinguistik selain mengkaji fenomena pemilihan bahasa juga dapat mengkaji tentang sosialisasi bahasa dalam konteks multikultural.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dengan menguasai bahasa maka manusia dapat mengetahui isi dunia melalui ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang baru dan belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Di era globalisasi saat ini, ketika hubungan dan pergaulan antar suku bangsa semakin luas terbuka, sangatlah sulit menemukan kelompok-kelompok masyarakat yang di dalamnya hanya memiliki atau hidup satu bahasa saja. Berbagai interaksi yang terjadi antar individu dalam kelompok maupun kelompok lain menyebabkan hidup berkembangnya kemultibahsaan dalam suatu masyarakat. Sebagai akibat penggunaan dua bahasa dan juga pertemuan  dua budaya atau lebih, seorang penutur tentu tidak terlepas dari akibat-akibat penggunaan dua bahasa. Salah satu akibatnya adalah percampuran yang dilakukan (secara secara sadar maupun tidak)  dua sistem bahasa yang dipakai. Dalam keadaan tersebut, ada kalanya seorang penutur mengganti unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur dalam pembicaraan yang dilakukannya, hal ini tergantung pada konteks dan situasi berbahasa tersebut. Misalnya, pada waktu si A berbahasa X dengan si B, datang si C yang tidak dapat berbahasa X memasuki situasi berbahasa itu, maka si A dan B beralih memakai bahasa yang dimengerti oleh si C.
Kondisi di atas merupakan kondisi berbahasa di PT CIBA VISION BATAM)bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme. Penggunaan alih kode dan campur kode menjadi  salah satu kajian Sosiolinguistik




1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.
1)  Bagaimana penggunaan alih kode bahasa pekerja parantau dari Medan,Padang(pariaman) ,Palembang(Lahat, dan jawa(Banyumas) dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam konteks multikultural di PT CIBA VISION BATAM
2)  Bagaimana penggunaan campur kode pekerja  perantau dari Medan,Padang(pariaman) ,palembang, dan jawa dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam konteks multikultural di CIBA VISION  BATAM?
3)  Apa saja faktor yang mempengaruhi bentuk sosialisasi bahasa sehari-haripekerja perantau dari Medan,Padang(pariaman) ,palembang, dan jawa  dalam konteks multikultural di PT CIBA VISION BATAM?

1.3  Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penggunaan sosialisasi bahasa sehari-hari pada pekerja  perantau dengan konteks multikultural. Adapun tujuan secara khusus penelitian ini sebagai berikut.
1)  Mendeskripsikan penggunaan  alih kode pekerja parantau dari demark Pematang Siantar,pariaman,lahat,cirebon dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam konteks multikultural di CIBA VISIO BATAM.
2)  Mendeskripsikan penggunaan campur kode mahasiswa perantau dari demark Pematang Siantar,pariaman,lahat,cirebon dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam konteks dari multikultural di CIBA VISION BATAM.
3)  Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk sosialisasi bahasa sehari-hari mahasiswa pekerja dari demark Pematang Siantar,pariaman,lahat,cirebon dalam konteks multikultural di CIBA VISION BATAM.

1.4  Manfaat

Manfaat penelitian ini meliputi dua hal yaitu manfaat secara teoretis dan praktis. Adapaun manfaat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1.4.1   Manfaat Teoretis

Penelitian ini bermanfaat dalam memperkaya khazanah pustaka ilmiah sosiolinguistik khusunya tentang alih kode, campur kode, dan sosialisasi bahasa. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk mendeskripsikan fenomena bahasa dalam bentuk alih kode dan campur kode pekerja perantau dalam sosialisasi bahasa dengan konteks multikultural.

1.4.2   Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah untuk melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian kebahsaan, yaitu penelitian sosiolinguistik tentang alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa mahasiswa perantau dalam konteks multikultural. Di samping itu, hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif bahan informasi atau masukan bagi pengembangan penelitian alih kode, campur kode, dan sosialisasi bahasa selanjutnya. Selanjutnya hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang beantuk alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa dalam konteks multikultural.


BAB 2

ISI

2.1 LANDASAN TEORI

2.1.1 Kajian Sosiolinguistik

Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, yang mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardhaugh, 1984: 4; Holmes, 1993: 1; Hudson, 1996: 2 dalam Pujihastuti 2010). Bahasa dalam kajian sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa sebagaimana dalam kajian linguistik teoretis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Kartomihardjo (dalam Rokhman 2009) mengemukakan gagasan tentang objek kajian sosiolinguistik, sebagai berikut.

“Sosiolinguistik mempelajari hubungan antara pembicara dan pendengar, berbagai macam bahasa dan  variasinya, penggunaannya sesuai dengan berbagai faktor penentu, baik faktor kebahasaan maupun lainnya, serta berbagai bentuk bahasa yang hidup dan dipertahankan di dalam suatu masyarakat.”

Menurut Rokhman (2009) gagasan tersebut mengandung pengertian bahwa sosiolinguistik mencakupi bidang kajian yang luas, bukan hanya menyangkut wujud formal bahasa dan variasi bahasa melainkan juga penggunaan bahasa di masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut dipengaruh berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu sendiri maupun faktor nonkebahasaan, seperti faktor sosialbudaya, termasuk tata hubungan antara pembicara dan pendengar. Implikasinya adalah bahwa tiap-tiap kelompok masyarakat mempunyai kekhususan dalam hal nilai-nilai sosialbudaya dan variasi penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Jadi, sosiolinguistik mengkaji semua tentang gejala bahasa yang ada di masyarakat termasuk sosialisasi bahasa yang berupa alih kode dan campur kode dalam kehidupan sehari-hari.
Pada umumnya, sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Dalam kenyataannya, sosialisasi bahasa juga berkaitan dengan situasi tersebut karena dalam berinteraksi dan bersosialisasi, tentu ada bahasa lain atau ragam lain yang ikut digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari sebagai pendamping sekaligus pembanding (Rokhman 2009). Dalam kaitannya dengan sosialisasi bahasa, kajian sosialisasi bahasa dalam masyarakat di Indonesia berkaitan dengan alih kode dan campur kode dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam  masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing. Kajian sosialisasi bahasa dalam penelitian ini menitikberatkan pada bentuk alih kode dan campur kode pada mahasiswa perantau dalam konteks multikutural.
Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kajian sosialinguistik meliputi tiga hal, yaitu bahasa, masyarakat, dan hubungan bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat dan bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain.

2.1.2   Kedwibahasaan

Penelitian sosiolinguistik yang mengkaji masalah kode dan sosialisasi bahasa tentu sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Batasan konsep kedwibahasaan itu sendiri selalu mengalami perubahan. Istilah ini kali pertama diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Bloomfield dalam bukunya Language (1933, diindonesiakan oleh Sutikno, 1995:54) yang mengartikan kedwibahasan sebagai penguasaan dua bahasa seperti penutur asli. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield ini mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah orang yang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya. Definisi yang diberikan oleh Bloomfield tersebut dirasa sangat berat karena dapat diartikan bahwa seseorang baru bisa dikatakan seorang dwibahawan jika bahasa kedua yang dikuasainya sama baiknya dengan bahasa pertama.
Definisi selanjutnya diberikan oleh Haugen (dalam Pujihastuti 2010:12) bahwa dwibahasa adalah tahu dua bahasa. Seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, penguasaan bahasa kedua secara pasif pun dipandang cukup menjadikan seorang itu disebut dwibahasawan. Hal ini berarti bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara aktif, produktif sebagaimana dituntut Bloomfield melainkan cukup apabila ia memiliki kemampuan reseptis dalam bahasa kedua. Mackey (dalam Mutmainnah 2008:47) menggambarkan kedwibahasaan sebagai penggunaan bahasa secara bergantian dua bahasa atau lebih oleh seseorang yang sama. Kondisi dan situasi yang dihadapi seorang dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang kedwibahasaan di atas dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan dua bahasa, baik bahasa pertama (bahasa ibu) maupun bahasa kedua dalam berkomunkasi.

2.1.3    Alih Kode dan Campur Kode

Penggunaan sebuah kode tertentu merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa. Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipakai oleh lawan tuturnya. Dengan demikian, di dalam masyarakat multilingual seperti masyarakat Indonesia seorang penutur mungkin harus beralih kode sebanyak kali lawan tutur yang dihadapinya. Anggota masyarakat yang mampu bertutur dengan lebih dari satu bahasa tentunya mampu mengganti kode yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Mereka mengalihkan kode yang digunakan dengan pertimbangan agar kode yang digunakan dapat dipahami oleh lawan tuturnya.
Pada komunitas yang multilingual, bahasa-bahasa yang berbeda tersebut digunakan pada situasi dan kondisi tertentu, dan pilihan penggunaannya selalu dikendalikan oleh lingkungan sosial (Hudson dalam Mutmainnah 2008:43). Pokok permasalahan pada alih kode dan campur kode berbeda dengan pokok permasalahan pada interferensi. Menurut Istiati (dalam Mutmainnah 2008:44), pada peristiwa interferensi, pusat perhatian kita hanya pada bahasa penerima yang mendapat “gangguan” dari unsur-unsur asing, sedangkan pada alih kode dan campur kode sasaran perhatian ada pada bahasa-bahasa yang digunakan secara berselang-seling oleh penuturnya karena beberapa sebab atau rangsangan yang datang dari luar atau dari dalam diri penutur.
Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan (Rokhman 2003). Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Misalnya seorang penutur Jawa yang dwibahasa akan menggunakan bahasa Jawa ketika berbicara kepada orang lain. Pilihan yang kedua adalah dengan melakukan alih kode (code switching), yaitu dengan menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Pilihan yang ketiga adalah dengan melakukan campur kode (code mixing), artinya menggunakan satu bahasa tertentu yang bercampur dengan serpihan-serpihan dari bahasa lain. Dengan adanya penguasaan dua bahasa atau lebih, alih kode dan campur kode dapat terjadi pada tuturan mahasiswa perantau dalam sosialisasi bahasa dengan konteks multikultural. Pada penelitian ini akan dijelaskan pemerian yang mencakup wujud alih kode dan campur kode pekerja perantau dalam sosialisasi bahasa.

2.1.3.1    Alih Kode

Alih kode (code switching) merupakan salah satu wujud penggunaan bahasa oleh seorang dwibahasawan, yaitu penggunaan lebih dari satu bahasa oleh seorang dwibahasawan yang bertutur dengan cara memilih salah satu kode bahasa disesuaikan dengan keadaan (Hudson 1996:51-53). Terdapat dua jenis alih kode, yaitu Situational code-switching dan Metaphorical codeswitching (Hudson, 1996:52-53; Wardhaugh, 1986: 102-103; Istiati. S, 1985).Situational code-switching adalah adanya perubahan bahasa yang terjadi karena adanya perubahan situasi. Seorang dwibahasawan menggunakan satu bahasa dalam satu situasi tutur dan menggunakan bahasa yang lain pada situasi tutur yang lain (Hudson 1996:52; Wardhaugh 1986:102-103). Menurut Hudson (1996), alih kode jenis ini dinamakansituational code-switching karena perubahan bahasa-bahasa oleh seorang dwibahasawan selalu bersamaan dengan perubahan dari satu situasi eksternal (misalnya berbicara kepada anggota keluarga) ke situasi eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga).
Dalam disertasinya, Istiati (dalam Mutmainnah 2008:44-45) menyatakan bahwa alih bahasa jenis ini terjadi terutama disebabkan oleh latar dan topik. Selain itu, umur, seks, pengetahuan penutur, status, sosial, dan kesukuan menentukan pula terjadinya alih kode. Dengan demikian, kaidah-kaidah sosial budaya merupakan faktor yang dominan. Jenis alih kode yang kedua ialah Metaphorical code-switching, yaitu ketika sebuah perubahan topik membutuhkan sebuah perubahan bahasa yang digunakan. Alih kode ini terjadi apabila penutur merasa bahwa dengan beberapa kata atau kalimat yang diucapkan dalam bahasa lain, maka ia dapat menekankan apa yang diinginkan sehingga akan mendapat perhatian dari pendengarnya.
Suwito (dalam Oktora 2012) membagi alih kode menjadi dua, yaitu alih kode ekstern bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya, dan alih kode intern, yaitu bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode sebagai berikut ini.
1)  Penutur, seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
2)  Mitra tutur, yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3)  Hadirnya penutur ketiga, untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
4)  Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5)  Untuk membangkitkan rasa humor biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
6)  Untuk sekadar bergengsi walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.

2.1.3.2   Campur Kode

Campur kode (code-mixing) merupakan wujud penggunaan bahasa lainnya pada seorang dwibahasawan. Berbeda dengan alih kode, dimana perubahan bahasa oleh seorang dwibahasawan disebabkan karena adanya perubahan situasi, pada campur kode perubahan bahasa tidak disertai dengan adanya perubahan situasi (Hudson, 1996:53). Menurut Istiati (dalam Mutmainnah 2008:46), campur kode dilakukan oleh penutur bukan semata-mata karena alasan situasi pada saat terjadinya interaksi verbal, melainkan oleh sebab-sebab yang bersifat kebahasaan. Sumber dari campur kode bisa datang dari kemampuan berbahasa, bisa pula datang dari kemampuan berkomunikasi, yakni tingkah laku. Jika gejala itu hadir karena penutur telah terbiasa menggunakan bahasa campur demi kemudahan belaka sebagai hasil dari sistem budaya, sistem sosial atau sistem kepribadian secara terus menerus, maka gejala itu datang dari sistem tingkah laku. Artinya, gejala ini bersumber dari kemampuan berkomunikasi.
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, dan rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: campur kode ke dalam (innercode-mixing), merupakan campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya dan campur kode ke luar (outer code-mixing), merupakan campur kode yang berasal dari bahasa asing. Adapaun latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sikap (attitudinal type), merupakan latar belakang sikap penutur dan kebahasaan (linguistik type)merupakan latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode antara lain berupa penyisipan kata, frasa, klausa, ungkapan atau idiom, dan penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).

2.1.4  Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode

Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu, sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode (Arindra 2011). Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Akan tetapi, apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.

2.1.5   Sosialisasi Bahasa

Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory) karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu (Wikipedia). Sedangkan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Kentjono dalam Chaer 2003). Jadi, sosialisasi bahasa merupakan proses kebiasaan dalam bekerja sama atau berkomunikasi oleh manusia dalam bermasyarakat. Menurut Duff (1995-508).
“Language socialization is the life long process by which individuals typically novices are inducted into specific domains of knowledge, beliefs, affect, roles, identities, and social representations, which they access and construct through language practices and social interaction . . .”

Artinya bahwa sosialisasi bahasa adalah proses seumur hidup dimana individu biasanya dibedakan berdasarkan pengetahuan, keyakinan, pengaruh, peran, identitas, dan representasi sosial, yang mereka akses dandibangun melalui praktik bahasa dan interaksi sosial.
Sosialisasi bahasa mengacu pada perolehan pengetahuan budaya bahasa, pragmatis dan lainnya melaluipengalaman sosial dan sering disamakan dengan perkembangan kompetensi budaya dan komunikatif. Penelitian di bidang ini meneliti aspek-aspek pembelajaran dan juga bagaimana individu dapat bersosialisasi dengan identitas tertentu, pandangan dunia atau nilai-nilai, dan ideologi ketika mereka belajar bahasa, apakah bahasa pertama ataubahasa kedua. Dengan demikian, sosialisasi bahasa mengeksplorasi bagaimana orang belajar berkomunikasi atau berinteraksi dalam konteks pembicaraan tertentu dalam aktivitas kehidupan sehari-hari seperti: lelucon, ucapan salam,pelajaran kelas, bercerita atau menulis esai atau memo dan juga nilai-nilai yang mendasari praktik-praktik tersebut.Mampu berpartisipasi dalam praktik bahasa dengan tepat, sesuai dengan harapan pribadi dan umum (konvensi),sehingga memungkinkan manusia dapat bermanfaat dengan baik dalam masyarakat.

2.1.6    Multikulturalisme

Istilah multikulturalisme umumnya digunakan untuk menjelaskan suatu heterogenitas budaya, atau merujuk pada eksistensi pluralitas etnik dan berbagai kelompok budaya dalam masyarakat (Sundrijo 2007). Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa setiap orang dengan berbagai latar belakang kebudyaan yang berbeda dapat hidup secara damai tanpa mengorbankan kekhasan budayanya dan tidak menimbulkan konflik akibat perbedaan budaya di antara mereka.
Tilaar (dalam Ekoati 2010) menyatakan bahwa multkulturalisme merupakan upaya untuk menggali potensi budaya sebagai capital yang membawa suatu komunitas dalam menghadapi masa depan yang penuh resiko. Oleh karena proses pendidikan adalah proses pembudayaan, maka masyarakat multikultural hanya dapat diciptakan melalui proses pendidikan. Penanaman pengakuan terhadap keragaman etnis dan budaya masyarakat Indonesia di era globalisasi saat ini merupakan upaya merespons fenomena konflik etnis dan sosial-budaya yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Tilaar (2004:29) menggambarkan masyarakat multikultural adalah masyarakat yang penuh resiko karena masyarakat itu berubah dengan cepat sehingga meminta manusia untuk mengambil sikap dan melakukan pilihan yang tepat untuk hidupnya atau hanyut bersama perubahan itu.
Multikulturalisme mencoba membantu pihak-pihak yang saling berbeda untuk dapat membangun sikap saling menghormati satu sama lain terhadap perbedaan-perbedaan dan kemajemukan yang ada agar tercipta perdamaian dan dengan demikian akan tercipta kesejahteraan umat manusia (Nugroho 2009:15).  


2.2  HASIL

2.2.1  Metode Penelitian

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka perlu diuraikan lebih lanjut tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini. Bagian metode penelitian ini dibagi menjadi dua pokok bahasan, yaitu objek penelitian dan metode penelitian. Objek kajian bisa diteliti berdasarkan tiga langkah-langkah yang penting, yaitu langkah penyediaan data, langkah analisis data, dan langkah penyajian hasil analisis. Satu hal yang harus diperhatikan dalam penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial.

2.2.2   Objek Penelitian

1.   Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian pemakaian alih kode dan campur kode pada pekerja perantau dalam sosialisasi bahasa dalam konteks multikultural di PT CIBA VISION BATAM. PT CIBA VISION BATAM. merupakan sebuah perusahaan   yang karyawannya heterogen atau multikultural, baik asal daerah, suku, bahasa, agama, pendidikan, dan adat-istiadat. PT CIBA VISION BATAM beralamat di Jalan Beringin Lot Kavling 204,Batamindo Indusrial park.
Pemilihan PT CIBA VISION BATAM sebagai lokasi penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data sesuai dengan topik penelitian. Data dalam penelitian ini bersumber dari penggunaan alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa penghuni yang terjadi PT CIBA VISION BATAM. Penggunaan bahasa itu terjadi secara alami dari peristiwa tutur yang wajar dalam komunikasi sehari-hari di rumah kos.
2.  Populasi dan Sampel
Setiap penelitian ilmiah tentu berhubungan dengan masalah sumber data. Pemilihan dan penentuan sumber data pada suatu penelitian tergantung pada permasalahan yang akan diselidiki dan hipotesis yang hendak diuji kebenaran atau ketidakbenarannya. Populasi pada penelitian ini adalah populasi homogen, yaitu pemakaian alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa hanya pada suatu masyarakat bahasa tertentu, yakni mahasiswa perantau. Selain itu, populasi pada penelitian ini merupakan populasi teoritis, artinya ialah sejumlah sumber data yang batas-batasnya ditetapkan secara kualitatif, sehingga dari segi jumlah, secara kuantitatif tidak dapat ditetapkan secara tegas (Nawawi 1993).
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk mendeskripsikan bentuk penggunaan alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa pada mahasiswa perantau dengan konteks multikultural di Wisma Laswi dan mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk sosialisasi bahasa sehari-hari mahasiswa perantau dari Ambon, Lombok, Flores, Cirebon, dan Banyumas dalam konteks multikultural di Wisma Laswi, maka sampel pada penelitian ini adalah tuturan mahasiswa perantau di Wisma Laswi yang ditemukan pada ranah-ranah penelitian yang mengandung unsur-unsur alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa sehari-hari. Penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan jenis purposive sample, yaitu salah satu jenis sample yang pemilihan subyeknya didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya, yaitu tuturan pada pekerja perantau di PT CIBA VISION BATAM yang ditemui.

2.2.3   Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, dan analisis data bersifat kualitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan Metode ini disebut juga metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) (Sugiyono 2010:14). Objek kajian pada penelitian ini diteliti berdasarkan tiga langkah penting, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian hasil analisis data.
1.   Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dilakukan seorang peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan. Dengan metode pengumpulan data yang tepat dalam suatu penelitian akan memungkinkan pencapaian pemecahan masalah secara valid dan terpercaya yang akhirnya akan memungkinkan dirumuskannya generalisasi yang obyektif (Nawawi 1991:13).
Penelitian ini menggunakan metode observasi dan metode wawancara Menurut Gunarwan (2001a:44), metode wawancara mirip dengan metode survei, yakni menggunakan sejumlah pertanyaan untuk menjaring informasi atau data dari responden. Peneliti terlibat langsung selama proses pengumpulan data karena peneliti termasuk salah satu pekerja PT CIBA VISION BATAM. Data dikumpulkan selama kurang lebih dua minggu baik secara langsung maupun tidak langsung selama ada tuturan dari sampel terkait penggunaan alih kode dan campur kode dalam kehidupan sehari-hari. Teknik yang digunakan adalah dengan merekam tuturan sampel untuk mendapatkan data yang valid dan lengkap. Tuturan yang menjadi data penelitian ini terealisasi di dalam penggalan tuturan pekerja perantau. Data verbal yang berupa penggalan tuturan ini pun tidak dikuantifikasi sehingga di dalam penelitian ini tidak digunakan perhitungan secara statis.
2.  Analisis Data
Setelah data diperoleh, tugas peneliti selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Langkah analisis data ini adalah langkah terpenting untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang ingin dipecahkan. Kaidah dan simpulan aspek-aspek alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa pada mahasiswa perantau dengan konteks multikultural di Wisma Laswi dianalisis dengan menggunakan metode analisis kontekstual.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode korelasi atau metode padan, yaitu metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Secara umum dalam metode penelitian ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi, metode korelasi dipakai untuk menganalisis hubungan dua variabel. Dalam kaitannya dengan penelitian Sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai variabel dependen atau varibel terikat, sedangkan unsur luar bahasa dalam hal ini konteks situasi dan konteks sosial budaya dipandang sebagai variabel independen atau variabel bebas (Arimi dalam Mutmainnah 2008:61).
Analisis data pada penelitian ini dilakukan melalui empat langkah, yaitu 1) reduksi data, 2) transkripsi data hasil rekaman, 3) pengelompokan kategori data baik dari data rekaman maupun data dari catatan, dan 4) penyimpulan pola penggunaan alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa pada mahasiswa perantau dengan konteks multikultural.
3.   Penyajian Hasil Analisis Data
Pada penelitian ini, hasil analisis data disajikan dengan menggunakan metode informal. Penerapan metode informal dalam penelitian ini tampak pada pemaparan hasil analisis tentang penggunaan alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa. Dengan metode informal ini, penyajian hasil analisis data dilakukan dengan menyajikan diskripsi khas verbal dengan kata-kata.

2.3.4  Pembahasan

Sesuai dengan tujuan penelitian ini maka pembahasan dibagi menjadi tiga bagian. Secara lengkap pembahasa tersebut sebagai berikut.
1.   Penggunaan Alih Kode
Penggunaan alih kode pada mahasiswa parantau dalam sosialisasi bahasa di Wisma Laswi dibagi berdasarkan asal daerah, yaitu dari Medan,Padang(pariaman) ,Palembang (Lahat), dan jawa(Banyumas). Penggunaan alih kode tersebut dapat dilihat dari percakapan berikut.
Percakapan 1:
Tempat            : ruang makan kantin PT CIBA VISION BATAM
Waktu              : malam hari (± pukul 18.30 WIB)
Konteks           : makan malam
Penutur           :
a.   Indra (SUMATERA UTARA/Pematang Siantar)
b.   Bapak Indra (SUMATERA UTARA/Pematang Siantar)
c.   Nurul (Banyumas/Suku Jawa)
d.   Meilan (Banyumas /Suku Jawa)

Indra dan Nurul sedang asyik berbincang-bincang di ruang makan. Kemudian Meilan yang berada di kamarnya datang dan ikut bergabung dengan mereka.
(1)       Indra      : “Rul, aku laper nih beli makan yuk!”
(2)       Nurul      : “Sama. Enaknya makan apa ya?”
(3)       Indra      : “Aku udah bosen banget makan di sini nih. Kangen masakan ibuku.”
(4)       Nurul      : “Lah terus mau makan apa Ndra?”
(5)       Meilan    : “Pada mau beli makan ya? Mau beli apa si?”
                 (6)       Nurul      : “Koe pengin maem apa Mel? Aku bosen panganan neng kene enak-enak neng umah ya?”
                  (7)       Meilan    : “Ya mestilah Rul! Aku nitip kucingan siji baen ya karo gorengan siji wis.”
                   (8)       Nurul      : “Aku juga wis kucingan rong bungkus. Ayo Ndra, kita beli makan!”
(9)       Indra      : “Ah kamu Cuin, makan kucingan mulu!”
(10)    Meilan    : “Suka-suka dong!”
Saat Indra dan Nurul akan pergi membeli makan, tiba-tiba ayah Indra menelfon sehingga Nurul menunggu Indra selesai ditelfon.
                 (11)    Indra      : “Eh bentar-bentar Rul bapakku nelfon nih, Hallo Assalamualaikum Bapak boa kabar?
(12)    Bapak    : “kabar bapak sehat? masuk aha karejo nak?”
(13)    Indra      : “masuk malam Pak.”
(14)    Bapak    : “ ohh,,Bapak boi do mangido hepeng   500.000 pe, naeng adong si tuhoron ni bapak?
(15)    Indra      : “olo pak,,kirm bapak ma no rekening ni bapak.”
(16)    Bapak    : “olo,mauliate da mang”

Pada percakapan di atas antara Indra, Nurul, Meilan, dan ayah Indra terjadi alih kode dari Bahasa Indonesia (BJ) ke Bahasa Jawa (BJ/Banyumas). Antara Indra (Pematang Siantar) dan Nurul (Banyumas) awalnya bertutur dengan menggunakan bahasa Indonesia (nonformal/lisan) tentang rencana membeli makan malam. Kemudian Meilan (Banyumas) tiba-tiba datang bergabung dengan mereka untuk membahas menu makan malam. Awalnya berbicara menggunakan Bahasa Indonesia (BI), kemudian saat berbicara dengan Nurul beralih menggunakan Bahasa Jawa (Banyumasan). Saat akan pergi membeli makan tiba-tiba ayah Indra menelfon. Awalnya Indra menggunakan BI ketika berbicara dengan Nurul, setelah berbicara dengan ayahnya beralih menggunakan Bahasa Batak (BB). Penggunaan alih kode dapat dilihat pada dialog di atas dengan keterangan angka sebagai berikut.
  Alih kode yang dilakukan Nurul dapat dilihat pada percakapan nomor (4) BI, (6) BJ, dan (8) BJ-BI. Alih kode yang dilakukan adalah dari BI ke BJ dan dari BJ ke BI.
  Alih kode yang dilakukan Meilan dapat dilihat pada percakapan nomor (5) BI dan (7) BJ. Alih kode yang dilakukan adalah dari BI ke BJ.
  Alih kode yang dilakukan Indra dapat dilihat pada percakapan (11) BI- BB, (13) BB, dan (15) BB. Alih kode yang dilakukan adalah dari BI ke BB.


2.3.4.1   Faktor Penggunaan Alih Kode dan Campur Kode dalam Sosialisasi Bahasa
Faktor-faktor penyebab terjadinya alih kodedan campur kode dalam sosialisasi bahasa sehari-hari pada pekerja perantau dalam konteks multikultural di PT CIBA VISION BATAM dipengaruhi oleh konteks dan situasi berbahasa yang dapat diuraikan sebagai berikut.
a.   Pembicar
Pembicara kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan atau dalam bertutur dengan teman sesuku atau berasala dari daerah yang sama.
b.  Mitra Bicar
Mitra bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama.
c.   Tempat
Alih bahasa atau campur kode itu dapat terjadi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari tingkat tutur suatu bahasa ke tingkat tutur bahasa yang lain. Di PT CIBA VISION BATAM yang karyawannya pekerja perantau dari berbagai daerah banyak terjadi alih kode dan campur kode sesuai dengan topik dan konteks pembicaraan.
d.  Modus Pe
Modus pembicaraan merupakan sarana yang digunakan untuk berbicara. Modus lisan (tatap muka, melalui telepon, atau melalui audio visual) lebih banyak menggunakan ragam non-formal dibandingkan dengan modus tulis (surat dinas, surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya menggunakan ragam formal. Dengan modus lisan lebih sering terjadi alih kode dan campur kode daripada dengan menggunakan modus tulis.
e.   Top4.2ik
Dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Alih kode dan campur kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dalam situasi formal dengan menggunakan ragam formal. Topik non-ilmiah disampaikan dalam situasi “bebas”, “santai” dengan menggunakan ragam non-formal. Dalam ragam non-formal kadang kadang terjadi “penyisipan” unsur bahasa lain, di samping itu topik pembicaraan non-ilmiah (percakapan sehari-hari) menciptakan pembicaraan yang santai. Pembicaraan yang santai juga dapat menimbulkan campur kode. Pembicaraan yang terjadi di PT CIBA VISION BATAM sering kali bersifat non-formal sehingga sering terjadi campur kode.
2.3.4.2   Fungsi dan Tujuan
Fungsi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan didasarkan pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan, mengumumkan, memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut fungsi yang dikehendakinya sesuai dengan konteks dan situasi komunikasi. Alih kode dapat terjadi karena situasi dipandang tidak sesuai atau tidak relevan. Dengan demikian, alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
.Dalam kegiatan  komunikasi pada masyarakat multilingual alih kode dan campur kode  pada umumnya dilakukan antara lain untuk tujuan-tujuan  berikut.
a.   Mengakrabkan suasana
Sebuah informasi dalam gagasan /pesan yang disampaikan oleh seorang penutur akan lebih mudah dipahami atau lebih cepat berterima jika ada kedekatan secara emosional antara individu-individu yang terlibat dalam peristiwa tutur. Misalnya, seseorang yang baru mengenal orang lain di suatu tempat, awalnya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia tetapi ketika mengetahui bahwa lawan bicara memiliki latar kedaerahan yang sama maka keduanya segera beralih kode ke bahasa daerahnya. Seperti contoh petikan dialog berikut.
        Penutur I         : “Sudah lama di Jakarta, Pak?”
      Penutur II         : “Lama juga, dari sejak kuliah.”
        Penutur I         : “Dulu SMAnya memang di mana?”
        Penutur II        : “Di Bone.”
        Penutur I         : “Si kampong ki tu’ “
        Penutur II        : “Tega ki monro komai?”
        Penutur I         : “Ko ka di Jatinegara mabbola.”
      ….
Kegiatan campur kode untuk tujuan lebih mengakrabkan suasana antara pembicara dan pendengar juga dapat kita temukan pada kegiatan-kegiatan semi formal, misalnya dalam kegiatan ceramah agama. Seperti contoh berikut.
                                    Pennceramah            : “Bapak ibu para jamaah pengajian yang berbahagia, inkang kulo hormati, Gusti Alloh senantiasa membuka pintu tobat bagi hambanya yang mau bertaubat… segala amalan yang kita buat teng dunya niki…sewiji jarakpun akan dicatat oleh Gusti Alloh….”
                    ~ ingkang kulo  = yang saya
                    ~ teng dunya niki    = di dunia ini
                    ~ sewiji       = sebiji
           Dalam contoh di atas terlihat bahwa sang penceramah mengunakan campur kode bahasa Jawa kromo (halus) ke dalam bahasa Indonesia dengan tujuan membangun emosional keakraban dan kedekatan dengan jamaahnya.
b.   Menghormati lawan bicara
Dalam peristiwa tutur antara seseorang yang lebih tua dengan yang lebih muda atau seseorang dengan status sosial yang lebih rendah dengan orang yang memiliki status sosial lebih tinggi, atau antara atasan dan bawahan,  alih kode dan campur kode kerap terjadi dengan tujuan menghargai atau menghormati lawan bicara. Seperti contoh berikut:
        Bupati             : “Berapa anaknya pak ?”
        Warga              : “ Iye Inggomiu,  o omba ananggu .’ (Ada empat anakku, Pak)
       Bupati              : “Sekolah semua?”
                                Warga              : “Alhamdulliah, Inggomiu oruo mesikola ni SD, o aso mesikola ni SMP, o owose  laito ni SMA.” (Alhamdullah, Pak, dua sekolah di SD, satu di SMP, yang besar di SMA)

Dalam petikan dialog di atas, seorang warga yang ditanya oleh Bupati dengan bahasa Indonesia tetapi menjawabnya dengan bahasa Tolaki, bukan berarti si warga tidak bisa berbahasa Indonesia tetapi karena tujuannya memberi rasa hormat maka yang bersangkutan menjawabnya dalam bahasa daerah.

2.3.4.3 Ragam dan Tingkat Tutur Bahasa
Pemilihan ragam dan tingkat tutur bahasa banyak didasarkan pada pertimbangan pada mitra tutur. Pertimbangan ini menunjukkan suatu pendirian terhadap topik tertentu atau relevansi dengan situasi tertentu. Alih kode dan campur kode lebih sering timbul pada penggunaan ragam non-formal dan tutur bahasa rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa ting



2.3.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Kode dan Campur Kode
Baik alih kode maupun campur kode dilakukan oleh penutur bilingual maupun multilingual dengan tujuan utama agar makna pesan dalam komunikasi dapat diterima dengan lebih efektif. Hymes mengemukakan 16 komponen tutur yang kemudian menyingkatnya menjadi sebuah istilah dalam bahasa Inggris yaitu SPEAKING
S    = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana
P    = Partisipan, mencakup penutur, pengirim, pendengar, dan penerima.
E    = End  (tujuan), mencakup bentuk pesan dan isi pesan.
A   = Act Sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan dan isi pesan
K   = Key ( kunci)
I     = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran dan bentuk tutur.
N   = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi
G   = Gendre (Sumarsono, 2007: 335)

Berdasarkan pendapat Hymes tersebut maka dapat dikaji bahwa alih kode dan campur kode terjadi karena faktor-faktor berikut.
a.       Penutur dan Pribadi Penutur
            Dalam suatu peristiwa tutur, penutur kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara tak jarang pula melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan atau karena rasa ingin menonjolkan identitasnya.
b. Mitra Tutur
                  Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Misalnya seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama. Seorang bawahan yang berbicara dengan seorang atasan melakukan campur kode yaitu menggunakan bahasa Indonesia dengan disisipi kata-kata dalam bahasa daerah yang nilai tingkat tuturnya tinggi dengan maksud untuk menghormati.
c.  Hadirnya Penutur Ketiga
                  Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Dalam situasi ini, kadang alih kode juga digunakan untuk menyampaikan pesan yang tidak ingin dimengerti  oleh penutur ketiga.
d. Tempat Tinggal dan Waktu tuturan Berlangsung
Pembicaraan yang terjadi di sebuah pasar, misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai etnis. Dalam masyarakat yang begitu kompleks semacam itu akan timbul banyak alih kode dan campur kode. Seorang penjual di sebuah pasar yang multilingual ketika dia berbicara dengan pembeli yang memliiki etnik akan cenderung menggunakan bahasa daerah  yang sama dalam transaksinya tetapi ketika hadir pembeli lain dia pun akan cepat beralih kode ke dalam bahasa yang lain dan kadang juga tanpa disadari melakukan campur kode antara bahasa pertama dan bahasa kedua yang digunakannya
e. Modus Pembicaraan
Modus pembicaraan merupakan sarana yang digunakan untuk berbicara. Modus lisan (tatap muka, melalui telepon,atau melalui audio visual) lebih banyak menggunakan ragam non-formal dibandingkan dengan modus tulis (surat dinas, surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya menggunakan ragam formal. Dengan modus lisan lebih sering terjadi alih kode dan campur kode daripada dengan menggunakan modus tulis.
f. Topik/ Pokok Pembicaraan
                  Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya emosional, dan serba seenaknya. Sebaliknya dalam topik pembicaraan yang formal dan ilmiah kerap terjadi campur kode ketika seorang pembicara tidak menemukan ungkapan atau padanan yang mampu mewakili gagasan dalam bahasa pengantarnya atau campur kode sengaja kerap dilakukan saat pembicara ingin menonjolkan pribadinya.



BAB III

Penutup

3.1.   Simpulan

Alih kode dan campur kode merupakan variasi bahasa yang dapat terjadi di mana saja seperti terminal, pasar, rumah sakit, pinggir jalan, atau tempat umum lainnya termasuk di lingkungan rumah atau rumah kos. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa terlepas dari interaksi dengan manusia lain. Dalam interaksi itulah manusia melakukan sosialisasi salah satunya dengan bahasa. Oleh karena Indonesia adalah negara yang kaya budaya baik suku, bahasa, maupun agama, maka tercipta budaya yang multikultural. Kemultikulturalan ini jika tidak dipelihara dengan baik sangat rentan menimbulkan konflik seperti yang sering terjadi, seperti peperangan antar suku, pelecehan agama, atau SARA. Hal tersebut sangat merugikan karena dapat memecah-belah persatuan bangsa. Akan tetapi, dengan adanya bahasa kemultikulturalan tersebut dapat menjadi senjata pamungkas mengatasi perpecahan. Bahasa di Indonesia sangat beragam dan bervariasi sesuai dengan daerah masing-masing, tetapi sebagai negara kesatuan maka ditetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pemersatu bangsa. Penggunaan alih kode dan campur kode variasi bahasa yang digunakan mahasiswa perantau sebagai cara dalam bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari dengan konteks multikutural di Wisma Laswi, Semarang.







 

 

3.2.   Saran


Hasil penelitian ini menggambarkan dan memberi penjelasan tentang penggunaan alih kode dan campur kode pada mahasiswa perantau dalam sosialisasi bahasa dengan konteks multikultural di Wisma Laswi. Meskipun demikian, hasil penelitian ini bukanlah sebuah generalisasi penggunaan alih kode dan campur kode di Wisma Laswi. Hal tersebut dikarenakan masing-masing daerah memiliki adat yang berbeda-beda walaupun masih satu wilayah. Oleh karena itu, penelitian berikutnya dapat dilakukan di wilayah yang lebih luas untuk mendeskripsikan lebih jauh penggunaan alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa. Selanjutnya, dalam upaya memperdalam dan memperluas pemahaman tentang alih kode, campur kode, dan sosialisasi bahasa perlu dilakukan kajian yang lebih mendetail



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 





DAFTAR PUSTAKA




0B7CMs6wd8WVvb3NtRnpsX2pmbXM