TUGAS
MANDIRI
BAHASA
INDONESIA
“ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PEKERJA PERANTAU DALAM
SOSIALISASI BAHASA SEHARI-HARI DENGAN KONTEKS MULTIKULTURAL DI PT CIBA VISION
BATAM”
Di susun oleh
:
Nama :Wantri Junedi Manurung
Npm :150210169
Dosen : Dairi Sapta Rindu
Simanjuntak,S.Pd.,M.Si
Kode
Kelas : 152-UM311-M5
UNIVERSITAS PUTERA BATAM
2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala kasih dan anugerahNya sehingga
saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dalam bentuk dan isi yang
sederhana.Dan saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Dairi sebagai dosen BAHASA INDONESIA sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini,
Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam administrasi pendidikan dan dapat menambah pengetahuan pembaca, sehingga
saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat
lebih baik lagi.
Makalah ini saya akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh
karena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Batam,
Juli 2016
Penyusun
Wantri
Junedi manurung
DAFTAR
ISI
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PEKERJA
PERANTAU DALAM SOSIALISASI BAHASA SEHARI-HARI DENGAN KONTEKS MULTIKULTURAL DI PT
CIBA VISION BATAM
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya raya. Tidak
hanya kondisi geografis yang luar biasa, tetapi sosiokulturalnya pun
beranekaragam. Hal ini karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
memiliki keragaman bahasa, sosial budaya, etnis, suku, agama, dan status
sosial. Kondisi seperti ini oleh Watson (dalam Setyaningsih 2010) dikatakan
sebagai masyarakat majemuk atau multikultur, yaitu masyarakat yang di dalamnya
berkembang banyak kebudayaan. Mereka terdiri atas beragam etnis yang mempunyai
budaya, bahasa, dan agama atau keyakinan yang berbeda-beda. Keragaman ini
sangat kondusif bagi munculnya konflik sosial dalam berbagai dimensi kehidupan.
Kondisi Indonesia yang kaya dengan keanekaragaman suku, etnis, bahasa, budaya,
dan adat istiadat ini sangat rentan jika tidak dikelola dengan baik. Oleh
karena itu, semua elemen masyarakat harus mempunyai cara pandang atau wawasan
berorientasi nasional.
Bhineka Tunggal Ika sebagai motto negara
yang diangkat dari penggalan kekawin Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada
zaman Keprabonan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai
berai, tetapi satu atau although in pieces yet one (Wikipedia). Motto ini
digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural
dan sosiokultural dibangun di atas keanekaragaman. Dari hal tersebut terkandung
maksud bahwa masyarakat multikultural dapat hidup berdampingan, saling
menghargai, dan bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya secara
harmonis.
Kemultikulturalan ini juga merambah dalam
ranah pekerjaan. Salah satu fenomena yang terjadi di Indonesia misalnya, dalam
skala nasional banyak pekerja yang pergi mencari uang ke luar daerah seperti
pekerja dari daerah SUMATERA UTARA(Pematang
Siantar),SUMATERA BARAT(Padang Pariaman),SUMATERA SELATAN(Lahat), JAWA
TENGAH(Banyumas), yang hijrah untuk mencari uang dan pengalaman di luar daerah.
Dalam posisi ini pekerja tersebut membawa ciri
khas masing-masing daerah, baik suku, etnis, bahasa, agama, negara, maupun
budaya.
Hal ini karena pekerja tersebut akan bertemu
dan berinteraksi dengan pekerja lain yang beranekaragam. Misalnya,pekerja luar
Jawa yang mencari uang di pulau Jawa seperti SUMATERA, Lombok, Flores, Sulawesi atau Papua
harus bisa beradaptasi dengan adat dan budaya yang ada di Jawa. Tidak hanya pekerja
luar Jawa yang harus bisa beradaptasi, tetapi walaupun sama-sama berasal dari
suku Jawa pun harus tetap bisa beradaptasi karena masing-masing individu
mempunyai ciri khas suku yang berbeda. Di dalam beradaptasi itulah pekerja
harus pandai membawa diri dalam bergaul atau berinteraksi dan bersosialisasi
denganpekerja lain. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi salah paham atau
konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang dapat
menimbulkan perpecahan. Interaksi tersebut tidak hanya terjadi di kampus atau
tempat umum, tetapi terjadi juga di tempat tinggal seperti di rumah kos atau
kontrakkan.
Salah satu bentuk interaksi dan sosialisasi pekerjayaitu
dengan menggunakan bahasa. Walaupun dalam berinteraksi dan bersosialisasi pekerja
tersebut menggunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, tetapi mereka
juga menggunakan baha sa daerah (bahasa ibu) sesuai daerah masing-masing. Oleh
karena bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik, maka bahasa daerah (bahasa
ibu) adalah alat identitas suku. Ada pula pandangan akan adanya hubungan yang
tetap dan pasti antara ciri-ciri fisik suatu etnik dengan sesuatu bahasa atau
variasi tertentu (Sumarsono 2002). Hal ini menguatkan kalimat bijak yang
menyatakan bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Secara singkat kalimat bijak ini
memuat makna bahwa bahasa yang digunakan merupakan cerminan dari para
penuturnya. Dengan kata lain tutur kata seseorang akan menunjukkan bagaimana
sifat dan watak orang itu, dari kalangan mana dia. Karyawan atau pekerja yang
menggunakan bahasa SUMATERA UTARA dapat diidentifikasi bahwa pekerja tersebut
berasal dari SUMATERA UTARA. Demikian halnya dengan pekerja yang menggunakan
bahasa Jawa kemungkinan besar karyawan tersebut berasal dari suku Jawa.
Keanekaragaman baik suku, etnis, maupun bahasa ini sifatnya multikultural.
Dalam suatu komunitas yang merupakan rumah kosatau mesh di DORMITORY
BLOK P 15 2-4 MUKA KUNING (Batam) yang dihuni 12 karyawan terdiri atas berbagai
latar belakang sehingga dapat dikatakan multikultural.Di dalam dormitory
tersebut pekerja di salurkan ke PT CIBA VISION BATAM. Kemultikulturalan
tersebut meliputi asal daerah, suku, bahasa, agama, pendidikan, dan adat atau
kebudayaan. Berdasarkan asal daerah terdiri atas mahasiswa yang berasal
dari Jawa Tengah (Purbalingga, Banyumas,
Semarang, ),Sumatera utara(Pematang Siantar)Sumatera Selatan (Lahat) dan
Sumatera Barat(pariaman). Dari latar belakang agama, yaitu sebagaian besar memeluk
agama Islam dan sisanya memeluk agama Kristen Protestan dan Katolik. Selain
itu, makanan, cara berpakaian, dan cara bertutur merupakan kebiasaan yang
beragam di antara penghuni di dormitory tersebut
Kemultikulturalan itulah yang menarik untuk
diteliti dari kajian perspektif sosiolinguistik. Dalam penelitian ini aspek
yang dikaji antara lain bentuk alih kode dan campur kode dalam sosialisasi
bahasa sehari-haridi di lingkungan PT CIBA VISION BATAM Pemakaian bahasa dalam
kehidupan sehari-hari terbukti kerap menunjukkan identitas diri penutur bahasa
tersebut dalam lingkungan sosial. Dalam ilmu kebahasaan atau linguistik,
fenomena kebahasaan semacam ini termasuk dalam kajian sosiolinguistik. Salzmann
(1993:190) menyatakan sosiolinguistik sebagai linguistik yang bermuatan sosial.
Dampak situasi sosial dan psikologis dapat diamati dalam pemakaian bahasa oleh
penutur.
Selanjutnya, Hymes (1974) memberikan sejumlah
tema yang menjadi ciri khas kajian sosiolinguistik. Tema-tema kajian
sosiolinguistik tersebut di antaranya adalah (1) teori bahasa yang tidak melulu
menjabarkan tata bahasa melainkan alur pengorganisasian bahasa yang diucapkan,
(2) landasan teori dan metodologi yang tidak melulu mencakup pertanyaan
mengenai struktur melainkan fungsi, (3) masyarakat bahasa ditentukan
berdasarkan cara berbahasa sekelompok orang dan tidak diartikan berdasarkan
distribusi ciri-ciri gramatikal semata, (4) kompetensi merupakan kemampuan
personal untuk berkomunikasi sesuai dengan konteks, tidak hanya berkisar pada
pengetahuan gramatikal, dan (5) bahasa adalah sesuatu yang membentuk masyarakat
pemakainya bukan sekadar sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Trudgill (1983)
menegaskan kembali pemikiran Hymes dengan menyatakan kajian bahasa dalam
konteks sosial merupakan bagian dari topik-topik utama linguistik. Kajian
linguistik dapat berupa kajian yang berbasis pada bukti empiris bahasa yang
digunakan dalam konteks sosial. Menurut Trudgill kajian seperti ini menampilkan
penggunaan sosiolonguistik sebagai suatu cara mengkaji penelitian linguistik (a
way of doing linguistics), yang menitikberatkan pada bagaimana bahasa
berperan dalam masyarakat (Trudgill 1974).
Hal tersebut sependapat dengan Rokhman (2009)
bahwa bahasa dalam kajian sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa
sebagaimana dalam kajian linguistik teoretis, melainkan didekati sebagai sarana
interaksi di dalam masyarakat. Jadi, pada umunya sosiolinguistik mengkaji
masyarakat multibahasa atau dwibahasa. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
menggunakan bahasa yang bervariasi dalam arti ada bahasa lain atau ragam lain
yang digunakan dalam berkomunikasi sebagai pendamping dan pembanding. Ia
juga menyatakan bahwa sosiolinguistik melihat fenomena pemilihan bahasa
sebagai fakta sosial dan menempatkannya dalam sistem lambang (kode), sistem
tingkah laku budaya, serta sistem pragmatik. Kajian sosiolinguistik menyikapi
fenomena pemilihan bahasa sebagai wacana dalam peristiwa komunikasi dan
sekaligus menunjukkan identitas sosial dan budaya peserta tutur. Dengan
demikian, sosiolinguistik selain mengkaji fenomena pemilihan bahasa juga dapat
mengkaji tentang sosialisasi bahasa dalam konteks multikultural.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang
digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dengan menguasai bahasa
maka manusia dapat mengetahui isi dunia melalui ilmu dan
pengetahuan-pengetahuan yang baru dan belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Di era globalisasi saat ini, ketika hubungan
dan pergaulan antar suku bangsa semakin luas terbuka, sangatlah sulit menemukan
kelompok-kelompok masyarakat yang di dalamnya hanya memiliki atau hidup satu
bahasa saja. Berbagai interaksi yang terjadi antar individu dalam kelompok
maupun kelompok lain menyebabkan hidup berkembangnya kemultibahsaan dalam suatu
masyarakat. Sebagai akibat penggunaan dua bahasa dan juga
pertemuan dua budaya atau lebih, seorang penutur tentu tidak
terlepas dari akibat-akibat penggunaan dua bahasa. Salah satu akibatnya adalah
percampuran yang dilakukan (secara secara sadar maupun tidak) dua
sistem bahasa yang dipakai. Dalam keadaan tersebut, ada kalanya seorang penutur
mengganti unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur dalam pembicaraan yang
dilakukannya, hal ini tergantung pada konteks dan situasi berbahasa tersebut.
Misalnya, pada waktu si A berbahasa X dengan si B, datang si C yang tidak dapat
berbahasa X memasuki situasi berbahasa itu, maka si A dan B beralih memakai
bahasa yang dimengerti oleh si C.
Kondisi di atas merupakan kondisi berbahasa di PT CIBA VISION BATAM)bilingual/multilingual menyangkut pemakaian
dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang
sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kontak yang
intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang
bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan
timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi
(interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan
gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme. Penggunaan
alih kode dan campur kode menjadi salah satu kajian Sosiolinguistik
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas
dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.
1) Bagaimana penggunaan alih kode
bahasa pekerja parantau dari Medan,Padang(pariaman) ,Palembang(Lahat, dan jawa(Banyumas)
dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam konteks multikultural di PT CIBA
VISION BATAM
2) Bagaimana penggunaan campur kode
pekerja perantau dari Medan,Padang(pariaman)
,palembang, dan jawa dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam konteks
multikultural di CIBA VISION BATAM?
3) Apa saja faktor yang
mempengaruhi bentuk sosialisasi bahasa sehari-haripekerja perantau dari Medan,Padang(pariaman)
,palembang, dan jawa dalam konteks
multikultural di PT CIBA VISION BATAM?
1.3 Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan penggunaan sosialisasi bahasa sehari-hari pada pekerja perantau dengan konteks multikultural. Adapun
tujuan secara khusus penelitian ini sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan
penggunaan alih kode pekerja parantau dari demark Pematang
Siantar,pariaman,lahat,cirebon dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam
konteks multikultural di CIBA VISIO BATAM.
2) Mendeskripsikan penggunaan
campur kode mahasiswa perantau dari demark Pematang
Siantar,pariaman,lahat,cirebon dalam sosialisasi bahasa sehari-hari dalam
konteks dari multikultural di CIBA VISION BATAM.
3) Mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi bentuk sosialisasi bahasa sehari-hari mahasiswa pekerja dari demark
Pematang Siantar,pariaman,lahat,cirebon dalam konteks multikultural di CIBA
VISION BATAM.
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini meliputi dua hal yaitu
manfaat secara teoretis dan praktis. Adapaun manfaat tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini bermanfaat dalam memperkaya
khazanah pustaka ilmiah sosiolinguistik khusunya tentang alih kode, campur
kode, dan sosialisasi bahasa. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk
mendeskripsikan fenomena bahasa dalam bentuk alih kode dan campur kode pekerja
perantau dalam sosialisasi bahasa dengan konteks multikultural.
1.4.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah
untuk melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian kebahsaan, yaitu penelitian
sosiolinguistik tentang alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa
mahasiswa perantau dalam konteks multikultural. Di samping itu, hasil
penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif bahan
informasi atau masukan bagi pengembangan penelitian alih kode, campur kode, dan
sosialisasi bahasa selanjutnya. Selanjutnya hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang beantuk alih kode
dan campur kode dalam sosialisasi bahasa dalam konteks multikultural.
BAB
2
ISI
2.1
LANDASAN TEORI
2.1.1 Kajian
Sosiolinguistik
Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, yang
mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal
bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardhaugh,
1984: 4; Holmes, 1993: 1; Hudson, 1996: 2 dalam Pujihastuti 2010). Bahasa
dalam kajian sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa sebagaimana dalam
kajian linguistik teoretis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam
masyarakat. Kartomihardjo (dalam Rokhman 2009) mengemukakan gagasan tentang
objek kajian sosiolinguistik, sebagai berikut.
“Sosiolinguistik mempelajari hubungan antara pembicara dan
pendengar, berbagai macam bahasa dan variasinya, penggunaannya sesuai
dengan berbagai faktor penentu, baik faktor kebahasaan maupun lainnya, serta
berbagai bentuk bahasa yang hidup dan dipertahankan di dalam suatu masyarakat.”
Menurut Rokhman (2009) gagasan tersebut mengandung pengertian
bahwa sosiolinguistik mencakupi bidang kajian yang luas, bukan hanya menyangkut
wujud formal bahasa dan variasi bahasa melainkan juga penggunaan bahasa di
masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut dipengaruh berbagai faktor, baik faktor
kebahasaan itu sendiri maupun faktor nonkebahasaan, seperti faktor
sosialbudaya, termasuk tata hubungan antara pembicara dan pendengar.
Implikasinya adalah bahwa tiap-tiap kelompok masyarakat mempunyai kekhususan
dalam hal nilai-nilai sosialbudaya dan variasi penggunaan bahasa dalam
interaksi sosial. Jadi, sosiolinguistik mengkaji semua tentang gejala bahasa
yang ada di masyarakat termasuk sosialisasi bahasa yang berupa alih kode dan
campur kode dalam kehidupan sehari-hari.
Pada umumnya, sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau
multibahasa. Dalam kenyataannya, sosialisasi bahasa juga berkaitan dengan
situasi tersebut karena dalam berinteraksi dan bersosialisasi, tentu ada bahasa
lain atau ragam lain yang ikut digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari
sebagai pendamping sekaligus pembanding (Rokhman 2009). Dalam kaitannya dengan
sosialisasi bahasa, kajian sosialisasi bahasa dalam masyarakat di Indonesia
berkaitan dengan alih kode dan campur kode dalam masyarakat dwibahasa atau
multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya
ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu
(pada sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional, dan bahasa asing. Kajian sosialisasi bahasa dalam penelitian ini
menitikberatkan pada bentuk alih kode dan campur kode pada mahasiswa perantau
dalam konteks multikutural.
Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kajian
sosialinguistik meliputi tiga hal, yaitu bahasa, masyarakat, dan hubungan
bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji bahasa sehubungan dengan
penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat dan bagaimana bahasa itu
digunakan untuk berkomunikasi antara anggota masyarakat yang satu dengan yang
lain.
2.1.2 Kedwibahasaan
Penelitian sosiolinguistik yang mengkaji masalah kode dan
sosialisasi bahasa tentu sangat erat kaitannya dengan kedwibahasaan. Batasan
konsep kedwibahasaan itu sendiri selalu mengalami perubahan. Istilah ini kali
pertama diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Bloomfield dalam bukunya Language (1933,
diindonesiakan oleh Sutikno, 1995:54) yang mengartikan kedwibahasan sebagai
penguasaan dua bahasa seperti penutur asli. Definisi yang diberikan oleh
Bloomfield ini mengimplikasikan pengertian bahwa seorang dwibahasawan adalah
orang yang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya. Definisi yang diberikan
oleh Bloomfield tersebut dirasa sangat berat karena dapat diartikan bahwa
seseorang baru bisa dikatakan seorang dwibahawan jika bahasa kedua yang
dikuasainya sama baiknya dengan bahasa pertama.
Definisi selanjutnya diberikan oleh Haugen (dalam Pujihastuti
2010:12) bahwa dwibahasa adalah tahu dua bahasa. Seorang dwibahasawan tidak
harus menguasai secara aktif dua bahasa, penguasaan bahasa kedua secara pasif
pun dipandang cukup menjadikan seorang itu disebut dwibahasawan. Hal ini
berarti bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai bahasa kedua secara
aktif, produktif sebagaimana dituntut Bloomfield melainkan cukup apabila ia
memiliki kemampuan reseptis dalam bahasa kedua. Mackey (dalam Mutmainnah
2008:47) menggambarkan kedwibahasaan sebagai penggunaan bahasa secara
bergantian dua bahasa atau lebih oleh seseorang yang sama. Kondisi dan situasi
yang dihadapi seorang dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa
yang dipakai.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang kedwibahasaan di atas
dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan merupakan kemampuan seseorang dalam
menggunakan dua bahasa, baik bahasa pertama (bahasa ibu) maupun bahasa kedua
dalam berkomunkasi.
2.1.3 Alih Kode
dan Campur Kode
Penggunaan sebuah kode tertentu merupakan konsekuensi yang tidak
dapat dihindari dari masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa. Setiap penutur
pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipakai oleh lawan tuturnya. Dengan
demikian, di dalam masyarakat multilingual seperti masyarakat Indonesia seorang
penutur mungkin harus beralih kode sebanyak kali lawan tutur yang dihadapinya.
Anggota masyarakat yang mampu bertutur dengan lebih dari satu bahasa tentunya
mampu mengganti kode yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Mereka mengalihkan kode yang digunakan dengan pertimbangan agar kode yang
digunakan dapat dipahami oleh lawan tuturnya.
Pada komunitas yang multilingual, bahasa-bahasa yang berbeda
tersebut digunakan pada situasi dan kondisi tertentu, dan pilihan penggunaannya
selalu dikendalikan oleh lingkungan sosial (Hudson dalam Mutmainnah 2008:43).
Pokok permasalahan pada alih kode dan campur kode berbeda dengan pokok
permasalahan pada interferensi. Menurut Istiati (dalam Mutmainnah 2008:44),
pada peristiwa interferensi, pusat perhatian kita hanya pada bahasa penerima
yang mendapat “gangguan” dari unsur-unsur asing, sedangkan pada alih kode dan
campur kode sasaran perhatian ada pada bahasa-bahasa yang digunakan secara
berselang-seling oleh penuturnya karena beberapa sebab atau rangsangan yang
datang dari luar atau dari dalam diri penutur.
Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan (Rokhman
2003). Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra
language variation).
Misalnya seorang penutur Jawa yang dwibahasa akan menggunakan bahasa Jawa
ketika berbicara kepada orang lain. Pilihan yang kedua adalah dengan melakukan
alih kode (code switching), yaitu dengan menggunakan satu bahasa pada
satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu
peristiwa komunikasi. Pilihan yang ketiga adalah dengan melakukan campur kode (code
mixing), artinya menggunakan satu bahasa tertentu yang bercampur dengan
serpihan-serpihan dari bahasa lain. Dengan adanya penguasaan dua bahasa atau
lebih, alih kode dan campur kode dapat terjadi pada tuturan mahasiswa perantau
dalam sosialisasi bahasa dengan konteks multikultural. Pada penelitian ini akan
dijelaskan pemerian yang mencakup wujud alih kode dan campur kode pekerja
perantau dalam sosialisasi bahasa.
2.1.3.1 Alih Kode
Alih kode (code switching) merupakan salah satu wujud
penggunaan bahasa oleh seorang dwibahasawan, yaitu penggunaan lebih dari satu
bahasa oleh seorang dwibahasawan yang bertutur dengan cara memilih salah satu
kode bahasa disesuaikan dengan keadaan (Hudson 1996:51-53). Terdapat dua jenis
alih kode, yaitu Situational
code-switching dan Metaphorical
codeswitching (Hudson,
1996:52-53; Wardhaugh, 1986: 102-103; Istiati. S, 1985).Situational
code-switching adalah
adanya perubahan bahasa yang terjadi karena adanya perubahan situasi. Seorang
dwibahasawan menggunakan satu bahasa dalam satu situasi tutur dan menggunakan
bahasa yang lain pada situasi tutur yang lain (Hudson 1996:52; Wardhaugh
1986:102-103). Menurut Hudson (1996), alih kode jenis ini dinamakansituational
code-switching karena
perubahan bahasa-bahasa oleh seorang dwibahasawan selalu bersamaan dengan
perubahan dari satu situasi eksternal (misalnya berbicara kepada anggota
keluarga) ke situasi eksternal lainnya (misalnya berbicara dengan tetangga).
Dalam disertasinya, Istiati (dalam Mutmainnah 2008:44-45)
menyatakan bahwa alih bahasa jenis ini terjadi terutama disebabkan oleh latar
dan topik. Selain itu, umur, seks, pengetahuan penutur, status, sosial, dan
kesukuan menentukan pula terjadinya alih kode. Dengan demikian, kaidah-kaidah
sosial budaya merupakan faktor yang dominan. Jenis alih kode yang kedua ialah Metaphorical
code-switching, yaitu ketika sebuah perubahan topik
membutuhkan sebuah perubahan bahasa yang digunakan. Alih kode ini terjadi apabila
penutur merasa bahwa dengan beberapa kata atau kalimat yang diucapkan dalam
bahasa lain, maka ia dapat menekankan apa yang diinginkan sehingga akan
mendapat perhatian dari pendengarnya.
Suwito (dalam Oktora 2012) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
alih kode ekstern bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke
bahasa Inggris atau sebaliknya, dan alih kode intern, yaitu bila alih kode
berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah
ke krama.
Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode sebagai berikut ini.
1) Penutur,
seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena
suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau
sebaliknya.
2) Mitra
tutur, yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih
kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan
berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3) Hadirnya
penutur ketiga, untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur
ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar
belakang kebahasaan mereka berbeda.
4) Pokok
pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan
terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya
diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok
pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya
sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5) Untuk
membangkitkan rasa humor biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam,
atau alih gaya bicara.
6) Untuk
sekadar bergengsi walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor
sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode,
sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.
2.1.3.2 Campur
Kode
Campur kode (code-mixing) merupakan wujud penggunaan
bahasa lainnya pada seorang dwibahasawan. Berbeda dengan alih kode, dimana
perubahan bahasa oleh seorang dwibahasawan disebabkan karena adanya perubahan
situasi, pada campur kode perubahan bahasa tidak disertai dengan adanya perubahan
situasi (Hudson, 1996:53). Menurut Istiati (dalam Mutmainnah 2008:46), campur
kode dilakukan oleh penutur bukan semata-mata karena alasan situasi pada saat
terjadinya interaksi verbal, melainkan oleh sebab-sebab yang bersifat
kebahasaan. Sumber dari campur kode bisa datang dari kemampuan berbahasa, bisa
pula datang dari kemampuan berkomunikasi, yakni tingkah laku. Jika gejala itu
hadir karena penutur telah terbiasa menggunakan bahasa campur demi kemudahan
belaka sebagai hasil dari sistem budaya, sistem sosial atau sistem kepribadian
secara terus menerus, maka gejala itu datang dari sistem tingkah laku. Artinya,
gejala ini bersumber dari kemampuan berkomunikasi.
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur
menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan
unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur,
seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, dan rasa keagamaan. Biasanya
ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi
karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada
padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya
mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic
convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: campur kode ke dalam (innercode-mixing),
merupakan campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
dan campur kode ke luar (outer code-mixing), merupakan campur kode yang
berasal dari bahasa asing. Adapaun latar belakang terjadinya campur kode dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu sikap (attitudinal type), merupakan latar
belakang sikap penutur dan kebahasaan (linguistik
type)merupakan latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada
alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk
menjelaskan atau menafsirkan. Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya
hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode antara lain berupa penyisipan kata, frasa, klausa,
ungkapan atau idiom, dan penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli
dan asing).
2.1.4 Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur
Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini
lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau
lebih. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode
terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi
masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab
tertentu, sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang
digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat
dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja,
tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode (Arindra 2011). Unsur bahasa lain
hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur
menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa,
sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila
dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke
klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Akan tetapi, apabila dalam suatu
periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa
campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan
masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri
disebut sebagai campur kode.
2.1.5 Sosialisasi
Bahasa
Sosialisasi adalah
sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan
aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat.
Sejumlah sosiolog menyebut
sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role
theory) karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus
dijalankan oleh individu (Wikipedia). Sedangkan bahasa adalah sistem lambang
bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk
bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Kentjono dalam Chaer
2003). Jadi, sosialisasi bahasa merupakan proses kebiasaan dalam bekerja sama
atau berkomunikasi oleh manusia dalam bermasyarakat. Menurut
Duff (1995-508).
“Language socialization is the life long process by which
individuals typically novices are inducted into specific domains of knowledge,
beliefs, affect, roles, identities, and social representations, which they
access and construct through language practices and social interaction . . .”
Artinya bahwa sosialisasi bahasa adalah proses seumur hidup dimana individu biasanya dibedakan
berdasarkan pengetahuan, keyakinan, pengaruh, peran, identitas, dan representasi sosial, yang mereka akses dandibangun melalui praktik bahasa dan interaksi sosial.
Sosialisasi bahasa mengacu pada perolehan pengetahuan budaya bahasa, pragmatis dan lainnya melaluipengalaman sosial dan sering disamakan dengan perkembangan kompetensi budaya dan komunikatif. Penelitian di bidang ini meneliti aspek-aspek pembelajaran dan juga bagaimana individu dapat
bersosialisasi dengan identitas tertentu, pandangan dunia atau nilai-nilai, dan ideologi ketika mereka belajar bahasa, apakah bahasa pertama ataubahasa
kedua. Dengan demikian, sosialisasi bahasa mengeksplorasi bagaimana orang belajar berkomunikasi
atau berinteraksi dalam konteks pembicaraan tertentu dalam aktivitas kehidupan sehari-hari seperti: lelucon, ucapan
salam,pelajaran kelas,
bercerita atau menulis esai atau memo dan juga nilai-nilai yang mendasari praktik-praktik tersebut.Mampu berpartisipasi dalam praktik bahasa dengan tepat, sesuai dengan harapan pribadi
dan umum (konvensi),sehingga memungkinkan manusia dapat
bermanfaat dengan baik dalam masyarakat.
2.1.6 Multikulturalisme
Istilah multikulturalisme umumnya digunakan untuk menjelaskan
suatu heterogenitas budaya, atau merujuk pada eksistensi pluralitas etnik dan berbagai
kelompok budaya dalam masyarakat (Sundrijo 2007). Pernyataan tersebut
mengisyaratkan bahwa setiap orang dengan berbagai latar belakang kebudyaan yang
berbeda dapat hidup secara damai tanpa mengorbankan kekhasan budayanya dan
tidak menimbulkan konflik akibat perbedaan budaya di antara mereka.
Tilaar (dalam Ekoati 2010) menyatakan bahwa multkulturalisme
merupakan upaya untuk menggali potensi budaya sebagai capital yang membawa
suatu komunitas dalam menghadapi masa depan yang penuh resiko. Oleh karena
proses pendidikan adalah proses pembudayaan, maka masyarakat multikultural
hanya dapat diciptakan melalui proses pendidikan. Penanaman pengakuan terhadap
keragaman etnis dan budaya masyarakat Indonesia di era globalisasi saat ini
merupakan upaya merespons fenomena konflik etnis dan sosial-budaya yang muncul
di tengah-tengah masyarakat. Tilaar (2004:29) menggambarkan masyarakat
multikultural adalah masyarakat yang penuh resiko karena masyarakat itu berubah
dengan cepat sehingga meminta manusia untuk mengambil sikap dan melakukan
pilihan yang tepat untuk hidupnya atau hanyut bersama perubahan itu.
Multikulturalisme mencoba membantu pihak-pihak yang saling
berbeda untuk dapat membangun sikap saling menghormati satu sama lain terhadap
perbedaan-perbedaan dan kemajemukan yang ada agar tercipta perdamaian dan
dengan demikian akan tercipta kesejahteraan umat manusia (Nugroho 2009:15).
2.2
HASIL
2.2.1 Metode Penelitian
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka perlu
diuraikan lebih lanjut tentang metode-metode yang digunakan dalam penelitian
ini. Bagian metode penelitian ini dibagi menjadi dua pokok bahasan, yaitu objek
penelitian dan metode penelitian. Objek kajian bisa diteliti berdasarkan tiga
langkah-langkah yang penting, yaitu langkah penyediaan data, langkah analisis
data, dan langkah penyajian hasil analisis. Satu hal yang harus diperhatikan
dalam penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat
signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Dengan kata
lain, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi. Yang
dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek
sosial.
2.2.2 Objek
Penelitian
1. Lokasi
Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian pemakaian alih kode
dan campur kode pada pekerja perantau dalam sosialisasi bahasa dalam konteks
multikultural di PT CIBA VISION BATAM. PT CIBA VISION BATAM. merupakan sebuah
perusahaan yang karyawannya heterogen
atau multikultural, baik asal daerah, suku, bahasa, agama, pendidikan, dan
adat-istiadat. PT CIBA VISION BATAM beralamat di Jalan Beringin Lot Kavling
204,Batamindo Indusrial park.
Pemilihan PT CIBA VISION BATAM sebagai lokasi penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan data sesuai dengan topik penelitian. Data dalam
penelitian ini bersumber dari penggunaan alih kode dan campur kode dalam
sosialisasi bahasa penghuni yang terjadi PT CIBA VISION BATAM. Penggunaan
bahasa itu terjadi secara alami dari peristiwa tutur yang wajar dalam
komunikasi sehari-hari di rumah kos.
2.
Populasi dan Sampel
Setiap penelitian ilmiah tentu berhubungan dengan masalah sumber
data. Pemilihan dan penentuan sumber data pada suatu penelitian tergantung pada
permasalahan yang akan diselidiki dan hipotesis yang hendak diuji kebenaran
atau ketidakbenarannya. Populasi pada penelitian ini adalah populasi homogen,
yaitu pemakaian alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa hanya pada
suatu masyarakat bahasa tertentu, yakni mahasiswa perantau. Selain itu,
populasi pada penelitian ini merupakan populasi teoritis, artinya ialah
sejumlah sumber data yang batas-batasnya ditetapkan secara kualitatif, sehingga
dari segi jumlah, secara kuantitatif tidak dapat ditetapkan secara tegas
(Nawawi 1993).
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk mendeskripsikan
bentuk penggunaan alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa pada
mahasiswa perantau dengan konteks multikultural di Wisma Laswi dan
mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk sosialisasi bahasa
sehari-hari mahasiswa perantau dari Ambon, Lombok, Flores, Cirebon, dan
Banyumas dalam konteks multikultural di Wisma Laswi, maka sampel pada
penelitian ini adalah tuturan mahasiswa perantau di Wisma Laswi yang ditemukan
pada ranah-ranah penelitian yang mengandung unsur-unsur alih kode dan campur
kode dalam sosialisasi bahasa sehari-hari. Penentuan sampel pada penelitian ini
menggunakan jenis purposive
sample, yaitu salah satu jenis sample yang pemilihan subyeknya
didasarkan atas ciri-ciri
atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya, yaitu tuturan pada
pekerja perantau di PT CIBA VISION BATAM yang ditemui.
2.2.3 Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dan untuk meneliti pada populasi atau
sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara
random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, dan analisis data
bersifat kualitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah
ditetapkan Metode ini disebut juga metode penelitian naturalistik karena
penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting)
(Sugiyono 2010:14). Objek kajian pada penelitian ini diteliti berdasarkan tiga
langkah penting, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) analisis data, dan (3)
penyajian hasil analisis data.
1. Pengumpulan
Data
Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dilakukan seorang
peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan. Dengan metode pengumpulan data
yang tepat dalam suatu penelitian akan memungkinkan pencapaian pemecahan
masalah secara valid dan terpercaya yang akhirnya akan memungkinkan
dirumuskannya generalisasi yang obyektif (Nawawi 1991:13).
Penelitian ini menggunakan metode observasi dan metode wawancara
Menurut Gunarwan (2001a:44), metode wawancara mirip dengan metode survei, yakni
menggunakan sejumlah pertanyaan untuk menjaring informasi atau data dari
responden. Peneliti terlibat langsung selama proses pengumpulan data karena
peneliti termasuk salah satu pekerja PT CIBA VISION BATAM. Data dikumpulkan
selama kurang lebih dua minggu baik secara langsung maupun tidak langsung
selama ada tuturan dari sampel terkait penggunaan alih kode dan campur kode
dalam kehidupan sehari-hari. Teknik yang digunakan adalah dengan merekam
tuturan sampel untuk mendapatkan data yang valid dan lengkap. Tuturan yang
menjadi data penelitian ini terealisasi di dalam penggalan tuturan pekerja
perantau. Data verbal yang berupa penggalan tuturan ini pun tidak
dikuantifikasi sehingga di dalam penelitian ini tidak digunakan perhitungan
secara statis.
2. Analisis
Data
Setelah data diperoleh, tugas peneliti selanjutnya adalah
menganalisis data tersebut. Langkah analisis data ini adalah langkah terpenting
untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang ingin dipecahkan. Kaidah dan
simpulan aspek-aspek alih kode dan campur kode dalam sosialisasi bahasa pada
mahasiswa perantau dengan konteks multikultural di Wisma Laswi dianalisis
dengan menggunakan metode analisis kontekstual.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode korelasi atau
metode padan, yaitu metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam
hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Secara umum
dalam metode penelitian ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi, metode korelasi
dipakai untuk menganalisis hubungan dua variabel. Dalam kaitannya dengan
penelitian Sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai variabel dependen atau
varibel terikat, sedangkan unsur luar bahasa dalam hal ini konteks situasi dan
konteks sosial budaya dipandang sebagai variabel independen atau variabel bebas
(Arimi dalam Mutmainnah 2008:61).
Analisis data pada penelitian ini dilakukan melalui empat
langkah, yaitu 1) reduksi data, 2) transkripsi data hasil rekaman, 3)
pengelompokan kategori data baik dari data rekaman maupun data dari catatan,
dan 4) penyimpulan pola penggunaan alih kode dan campur kode dalam sosialisasi
bahasa pada mahasiswa perantau dengan konteks multikultural.
3. Penyajian
Hasil Analisis Data
Pada penelitian ini, hasil analisis data disajikan dengan
menggunakan metode informal. Penerapan metode informal dalam penelitian ini
tampak pada pemaparan hasil analisis tentang penggunaan alih kode dan campur
kode dalam sosialisasi bahasa. Dengan metode informal ini, penyajian hasil
analisis data dilakukan dengan menyajikan diskripsi khas verbal dengan
kata-kata.
2.3.4 Pembahasan
Sesuai dengan tujuan penelitian ini maka pembahasan dibagi
menjadi tiga bagian. Secara lengkap pembahasa tersebut sebagai berikut.
1. Penggunaan
Alih Kode
Penggunaan alih kode pada mahasiswa parantau dalam sosialisasi
bahasa di Wisma Laswi dibagi berdasarkan asal daerah, yaitu dari Medan,Padang(pariaman) ,Palembang (Lahat), dan
jawa(Banyumas). Penggunaan alih kode tersebut dapat
dilihat dari percakapan berikut.
Percakapan 1:
Tempat :
ruang makan kantin PT CIBA VISION BATAM
Waktu :
malam hari (± pukul 18.30 WIB)
Konteks :
makan malam
Penutur :
a. Indra
(SUMATERA UTARA/Pematang Siantar)
b. Bapak
Indra (SUMATERA UTARA/Pematang Siantar)
c. Nurul
(Banyumas/Suku Jawa)
d. Meilan
(Banyumas /Suku Jawa)
Indra dan Nurul sedang asyik berbincang-bincang di ruang makan.
Kemudian Meilan yang berada di kamarnya datang dan ikut bergabung dengan
mereka.
(1) Indra :
“Rul, aku laper nih beli makan yuk!”
(2) Nurul :
“Sama. Enaknya makan apa ya?”
(3) Indra :
“Aku udah bosen banget makan di sini nih. Kangen masakan ibuku.”
(4) Nurul :
“Lah terus mau makan apa Ndra?”
(5) Meilan :
“Pada mau beli makan ya? Mau beli apa si?”
(6) Nurul :
“Koe pengin maem apa Mel? Aku bosen panganan neng kene enak-enak neng umah ya?”
(7) Meilan :
“Ya mestilah Rul! Aku nitip kucingan siji baen ya karo gorengan siji wis.”
(8) Nurul :
“Aku juga wis kucingan rong bungkus. Ayo Ndra, kita beli makan!”
(9) Indra :
“Ah kamu Cuin, makan kucingan mulu!”
(10) Meilan :
“Suka-suka dong!”
Saat Indra dan Nurul akan pergi membeli makan, tiba-tiba ayah
Indra menelfon sehingga Nurul menunggu Indra selesai ditelfon.
(11) Indra :
“Eh bentar-bentar Rul bapakku nelfon nih, Hallo Assalamualaikum Bapak boa kabar?
(12) Bapak : “kabar
bapak sehat? masuk aha karejo nak?”
(13) Indra : “masuk
malam Pak.”
(14) Bapak : “
ohh,,Bapak boi do mangido hepeng 500.000 pe, naeng adong si tuhoron ni bapak?
(15) Indra : “olo
pak,,kirm bapak ma no rekening ni bapak.”
(16) Bapak : “olo,mauliate
da mang”
Pada percakapan di atas antara Indra, Nurul, Meilan, dan ayah
Indra terjadi alih kode dari Bahasa Indonesia (BJ) ke Bahasa Jawa
(BJ/Banyumas). Antara Indra (Pematang Siantar) dan Nurul (Banyumas) awalnya
bertutur dengan menggunakan bahasa Indonesia (nonformal/lisan) tentang rencana
membeli makan malam. Kemudian Meilan (Banyumas) tiba-tiba datang bergabung
dengan mereka untuk membahas menu makan malam. Awalnya berbicara menggunakan
Bahasa Indonesia (BI), kemudian saat berbicara dengan Nurul beralih menggunakan
Bahasa Jawa (Banyumasan). Saat akan pergi membeli makan tiba-tiba ayah Indra
menelfon. Awalnya Indra menggunakan BI ketika berbicara dengan Nurul, setelah
berbicara dengan ayahnya beralih menggunakan Bahasa Batak (BB). Penggunaan alih
kode dapat dilihat pada dialog di atas dengan keterangan angka sebagai berikut.
Alih
kode yang dilakukan Nurul dapat dilihat pada percakapan nomor (4) BI, (6) BJ,
dan (8) BJ-BI. Alih kode yang dilakukan adalah dari BI ke BJ dan dari BJ ke BI.
Alih
kode yang dilakukan Meilan dapat dilihat pada percakapan nomor (5) BI dan (7)
BJ. Alih kode yang dilakukan adalah dari BI ke BJ.
Alih
kode yang dilakukan Indra dapat dilihat pada percakapan (11) BI- BB, (13) BB,
dan (15) BB. Alih kode yang dilakukan adalah dari BI ke BB.
2.3.4.1 Faktor
Penggunaan Alih Kode dan Campur Kode dalam Sosialisasi Bahasa
Faktor-faktor penyebab terjadinya alih kodedan campur kode dalam
sosialisasi bahasa sehari-hari pada pekerja perantau dalam konteks
multikultural di PT CIBA VISION BATAM dipengaruhi
oleh konteks dan situasi berbahasa yang dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Pembicar
Pembicara kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra
bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi
pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara
ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat
ruang dan waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu.
Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang
lain karena kebiasaan atau dalam bertutur dengan teman sesuku atau berasala
dari daerah yang sama.
b. Mitra
Bicar
Mitra bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam
masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa
dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang
mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama.
c. Tempat
Alih bahasa atau campur kode itu dapat terjadi dari bahasa yang
satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari tingkat tutur suatu bahasa ke tingkat
tutur bahasa yang lain. Di PT CIBA VISION BATAM yang karyawannya pekerja
perantau dari berbagai daerah banyak terjadi alih kode dan campur kode sesuai
dengan topik dan konteks pembicaraan.
d. Modus
Pe
Modus pembicaraan merupakan sarana yang digunakan untuk
berbicara. Modus lisan (tatap muka, melalui telepon, atau melalui audio visual)
lebih banyak menggunakan ragam non-formal dibandingkan dengan modus tulis
(surat dinas, surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya menggunakan ragam formal.
Dengan modus lisan lebih sering terjadi alih kode dan campur kode daripada
dengan menggunakan modus tulis.
e. Top4.2ik
Dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi
dapat berjalan dengan lancar. Alih kode dan campur kode dapat terjadi karena
faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dalam situasi formal dengan menggunakan
ragam formal. Topik non-ilmiah disampaikan dalam situasi “bebas”, “santai” dengan
menggunakan ragam non-formal. Dalam ragam non-formal kadang kadang terjadi
“penyisipan” unsur bahasa lain, di samping itu topik pembicaraan non-ilmiah
(percakapan sehari-hari) menciptakan pembicaraan yang santai. Pembicaraan yang
santai juga dapat menimbulkan campur kode. Pembicaraan yang terjadi di PT CIBA
VISION BATAM sering kali bersifat non-formal sehingga sering terjadi campur
kode.
2.3.4.2 Fungsi
dan Tujuan
Fungsi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan didasarkan pada
tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang berhubungan dengan
tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan, mengumumkan, memarahi, dan
sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut fungsi yang dikehendakinya
sesuai dengan konteks dan situasi komunikasi. Alih kode dapat terjadi karena
situasi dipandang tidak sesuai atau tidak relevan. Dengan demikian, alih kode
menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan
situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
.Dalam kegiatan komunikasi pada
masyarakat multilingual alih kode dan campur kode pada umumnya
dilakukan antara lain untuk tujuan-tujuan berikut.
a. Mengakrabkan suasana
Sebuah informasi dalam gagasan /pesan yang
disampaikan oleh seorang penutur akan lebih mudah dipahami atau lebih cepat
berterima jika ada kedekatan secara emosional antara individu-individu yang
terlibat dalam peristiwa tutur. Misalnya, seseorang yang baru mengenal orang
lain di suatu tempat, awalnya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia tetapi
ketika mengetahui bahwa lawan bicara memiliki latar kedaerahan yang sama maka
keduanya segera beralih kode ke bahasa daerahnya. Seperti contoh petikan dialog
berikut.
Penutur
I : “Sudah lama di
Jakarta, Pak?”
Penutur
II : “Lama juga, dari
sejak kuliah.”
Penutur
I : “Dulu SMAnya memang di
mana?”
Penutur
II : “Di Bone.”
Penutur
I : “Si kampong ki tu’ “
Penutur
II : “Tega ki monro komai?”
Penutur
I : “Ko ka di
Jatinegara mabbola.”
….
Kegiatan campur kode untuk tujuan lebih mengakrabkan suasana
antara pembicara dan pendengar juga dapat kita temukan pada
kegiatan-kegiatan semi formal, misalnya dalam kegiatan ceramah agama. Seperti
contoh berikut.
Pennceramah :
“Bapak ibu para jamaah pengajian yang berbahagia, inkang kulo hormati,
Gusti Alloh senantiasa membuka pintu tobat bagi
hambanya yang mau bertaubat… segala amalan yang kita buat teng dunya niki…sewiji
jarakpun akan dicatat oleh Gusti Alloh….”
~ ingkang
kulo = yang saya
~
teng dunya niki = di dunia ini
~ sewiji =
sebiji
Dalam
contoh di atas terlihat bahwa sang penceramah mengunakan campur kode bahasa
Jawa kromo (halus) ke dalam bahasa Indonesia dengan tujuan membangun emosional
keakraban dan kedekatan dengan jamaahnya.
b. Menghormati lawan bicara
Dalam peristiwa tutur antara seseorang yang lebih tua dengan yang
lebih muda atau seseorang dengan status sosial yang lebih rendah dengan orang
yang memiliki status sosial lebih tinggi, atau antara atasan dan
bawahan, alih kode dan campur kode kerap terjadi dengan tujuan
menghargai atau menghormati lawan bicara. Seperti contoh berikut:
Bupati :
“Berapa anaknya pak ?”
Warga :
“ Iye Inggomiu, o omba ananggu .’ (Ada empat
anakku, Pak)
Bupati :
“Sekolah semua?”
Warga :
“Alhamdulliah, Inggomiu oruo mesikola ni SD, o aso mesikola ni SMP, o
owose laito ni SMA.” (Alhamdullah, Pak, dua sekolah di SD, satu
di SMP, yang besar di SMA)
Dalam petikan dialog di atas, seorang warga
yang ditanya oleh Bupati dengan bahasa Indonesia tetapi menjawabnya dengan
bahasa Tolaki, bukan berarti si warga tidak bisa berbahasa Indonesia tetapi
karena tujuannya memberi rasa hormat maka yang bersangkutan menjawabnya dalam
bahasa daerah.
2.3.4.3 Ragam dan Tingkat Tutur Bahasa
Pemilihan ragam dan tingkat tutur bahasa banyak didasarkan pada
pertimbangan pada mitra tutur. Pertimbangan ini menunjukkan suatu pendirian
terhadap topik tertentu atau relevansi dengan situasi tertentu. Alih kode dan
campur kode lebih sering timbul pada penggunaan ragam non-formal dan tutur
bahasa rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa ting
2.3.4.2. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Alih Kode dan Campur Kode
Baik alih kode maupun campur kode dilakukan
oleh penutur bilingual maupun multilingual dengan tujuan utama agar makna pesan
dalam komunikasi dapat diterima dengan lebih efektif. Hymes mengemukakan
16 komponen tutur yang kemudian menyingkatnya menjadi sebuah istilah dalam
bahasa Inggris yaitu SPEAKING
S = Situasi (act situation),
mencakup latar dan suasana
P = Partisipan, mencakup penutur,
pengirim, pendengar, dan penerima.
E = End (tujuan),
mencakup bentuk pesan dan isi pesan.
A = Act Sequence (urutan
tindak), mencakup bentuk pesan dan isi pesan
K = Key ( kunci)
I = Instrumentalities (peranti,
perabotan), mencakup saluran dan bentuk tutur.
N = Norms (norma), mencakup
norma interaksi dan norma interpretasi
G = Gendre (Sumarsono, 2007:
335)
Berdasarkan pendapat Hymes tersebut maka dapat dikaji bahwa alih
kode dan campur kode terjadi karena faktor-faktor berikut.
a. Penutur
dan Pribadi Penutur
Dalam suatu peristiwa tutur, penutur kadang-kadang sengaja
beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan
tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan
beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni
dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang
tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara tak jarang pula melakukan campur kode
bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan atau karena rasa ingin
menonjolkan identitasnya.
b. Mitra Tutur
Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya
sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila
mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa
alih bahasa. Misalnya seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu
bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang
mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama. Seorang bawahan yang
berbicara dengan seorang atasan melakukan campur kode yaitu menggunakan bahasa
Indonesia dengan disisipi kata-kata dalam bahasa daerah yang nilai tingkat
tuturnya tinggi dengan maksud untuk menghormati.
c. Hadirnya Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati
kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode,
apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Dalam situasi ini,
kadang alih kode juga digunakan untuk menyampaikan pesan yang tidak ingin
dimengerti oleh penutur ketiga.
d. Tempat Tinggal dan Waktu tuturan Berlangsung
Pembicaraan yang terjadi di sebuah pasar,
misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai etnis. Dalam masyarakat yang
begitu kompleks semacam itu akan timbul banyak alih kode dan campur kode.
Seorang penjual di sebuah pasar yang multilingual ketika dia berbicara dengan
pembeli yang memliiki etnik akan cenderung menggunakan bahasa
daerah yang sama dalam transaksinya tetapi ketika hadir pembeli lain
dia pun akan cepat beralih kode ke dalam bahasa yang lain dan kadang juga tanpa
disadari melakukan campur kode antara bahasa pertama dan bahasa kedua yang
digunakannya
e. Modus Pembicaraan
Modus pembicaraan merupakan sarana yang
digunakan untuk berbicara. Modus lisan (tatap muka, melalui telepon,atau
melalui audio visual) lebih banyak menggunakan ragam non-formal dibandingkan
dengan modus tulis (surat dinas, surat kabar, buku ilmiah) yang biasanya
menggunakan ragam formal. Dengan modus lisan lebih sering terjadi alih kode dan
campur kode daripada dengan menggunakan modus tulis.
f. Topik/ Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor
yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang
bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan
serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa
tak baku, gaya emosional, dan serba seenaknya. Sebaliknya dalam topik
pembicaraan yang formal dan ilmiah kerap terjadi campur kode ketika seorang
pembicara tidak menemukan ungkapan atau padanan yang mampu mewakili gagasan
dalam bahasa pengantarnya atau campur kode sengaja kerap dilakukan saat
pembicara ingin menonjolkan pribadinya.
BAB III
Penutup
3.1. Simpulan
Alih kode dan campur kode merupakan variasi
bahasa yang dapat terjadi di mana saja seperti terminal, pasar, rumah sakit,
pinggir jalan, atau tempat umum lainnya termasuk di lingkungan rumah atau rumah
kos. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa
terlepas dari interaksi dengan manusia lain. Dalam interaksi itulah manusia
melakukan sosialisasi salah satunya dengan bahasa. Oleh karena Indonesia adalah
negara yang kaya budaya baik suku, bahasa, maupun agama, maka tercipta budaya
yang multikultural. Kemultikulturalan ini jika tidak dipelihara dengan baik
sangat rentan menimbulkan konflik seperti yang sering terjadi, seperti
peperangan antar suku, pelecehan agama, atau SARA. Hal tersebut sangat
merugikan karena dapat memecah-belah persatuan bangsa. Akan tetapi, dengan
adanya bahasa kemultikulturalan tersebut dapat menjadi senjata pamungkas
mengatasi perpecahan. Bahasa di Indonesia sangat beragam dan bervariasi sesuai
dengan daerah masing-masing, tetapi sebagai negara kesatuan maka ditetapkan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional pemersatu bangsa. Penggunaan alih kode dan
campur kode variasi bahasa yang digunakan mahasiswa perantau sebagai cara dalam
bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari dengan konteks multikutural di Wisma
Laswi, Semarang.
3.2. Saran
Hasil penelitian ini menggambarkan dan memberi
penjelasan tentang penggunaan alih kode dan campur kode pada mahasiswa perantau
dalam sosialisasi bahasa dengan konteks multikultural di Wisma Laswi. Meskipun
demikian, hasil penelitian ini bukanlah sebuah generalisasi penggunaan alih
kode dan campur kode di Wisma Laswi. Hal tersebut dikarenakan masing-masing
daerah memiliki adat yang berbeda-beda walaupun masih satu wilayah. Oleh karena
itu, penelitian berikutnya dapat dilakukan di wilayah yang lebih luas untuk
mendeskripsikan lebih jauh penggunaan alih kode dan campur kode dalam
sosialisasi bahasa. Selanjutnya, dalam upaya memperdalam dan memperluas
pemahaman tentang alih kode, campur kode, dan sosialisasi bahasa perlu dilakukan
kajian yang lebih mendetail
Hotel Casino in Norwich, Norwich - MapyRO
BalasHapusThe Hotel Casino at Norwich, in Norwich, is a four-minute walk 전라북도 출장안마 from 공주 출장샵 Norwich หาเงินออนไลน์ City Football Stadium and offers 광주 출장안마 a casino, poker room and 3 bars/lounges. 서산 출장마사지 Rating: 8.1/10 · 1,359 reviews